Kamis, 03 Agustus 2017

Semaraknya, Festival Tepi Sawah di Omah Apik Bali



            Menyadarkan orang untuk perhatian terhadap pelestarian lingkungan hidup sepertinya bukan hal yang mudah.  Rendahnya niat baik, tingginya sikap cuek melengkapi gagalnya gerakan sadar lingkungan tersebut. Sebut saja, sampah plastik yang berserakan diberbagai tempat seakan menjadi menu harian tanpa terganggu dengan plastik tersebut. Sebagian masyarakat pun nyeletuk bahwa itu bukan pekerjaan saya. Ada petugas kebersihan kok, mereka itu dibayar. Sangat memprihatinkan bukan ? Tapi ada sebuah festival yang berinisiatif  mengingatkan kita pentingnya kesadaran lingkungan yaitu Festival Tepi Sawah.

            Angin berhembus sejuk menyapa hati di tepi persawahan hijau. Saya duduk manis disebuah gubuk bambu yang dinamakan Kubu. Kubu ini terletak menonjol diujung barat yang merupakan bagian dari kawasan vila cantik yang bernama Omah Apik. Vila ini terletak tersembunyi di lingkungan pedesaan Pejeng, Kabupaten Gianyar Bali hanya 2 km dari obyek wisata Goa Gajah. Ditempat ini para pembaca pasti mendapatkan nuansa alam Bali yang murni dan lingkungannya bersih. Dan sayapun berharap mudah-mudahan tidak ada lagi pembangunan vila, hotel atau sejenisnya, cukup segini saja.



            Kehadiran saya di Vila Omah Apik ini untuk berpartisipasi dalam Festival Tepi Sawah tanggal 3 - 4 Juni 2017 lalu.  Festival Tepi Sawah diproyeksikan sebagai sebuah pagelaran kesenian tahunan berorientasi ramah lingkungan yang melibatkan seniman beragam yang berkolaborasi, berkarya dalam kebersamaan. Banyak seniman kondang dan kesohor disini hadir, dari yang tradisional hingga fenomenal, dari yang anyar hingga yang tenar. Sayapun menyelip diantara para seniman tersebut meniup suling melengking dan memainkan kendang dalam beberapa slot waktu yang disediakan.

            Adapun seniman tersebut diantaranya : Dewa Alit, Bona Alit, Tompi, Ivan Nestorman, Nita Aartsen, Kecak Kobagi, Jasmine Okubo, Doddy Sambodo, Dodot & Barok, Gustu Brahmanta, Sisca Guhzeng, Brahma Diva Kencana, Marlowe Bandem, Janger Emoni, Fascinating Rhythm Community dan lain-lain.

            Festival ini digagas oleh tiga pelaku seni yaitu Pianis Nita Aartsen, pemilik Omah Apik Eta Widiyanto dan  Anom Darsana (sound engineer). Ketiganya berharap elemen kreatif dari festival ini dapat berintegrasi dengan edukasi dan implementasi tentang  environmental sustainability​ dikalangan anak-anak hingga dewasa. Disamping itu festival ini menawarkan suguhan aneka kuliner Indonesia, art market, workshop budaya, program edukasi Bali Bersih dan program pro lingkungan lainnya.



Nita Aartsen dan Suling Bali

            Saya sangat beruntung memperoleh kesempatan tampil di Festival Tepi Sawah yang pertama kali diadakan. Inipun berkat jalinan persahabatan dengan pianis ternama Indonesia Nita Aartsen. Persahabatan itu terjalin erat ketika kita berdua mengikuti even budaya dan  konser di negeri Belgia maupun  Belanda pada tahun lalu. Dengan jari jemari lentik, lincah dan berenergi Nita mampu menyuguhkan kemahirannya  yang memukau publik sepanjang pertunjukan. Disamping itu pula, kepribadian yang baik, rendah hati dan bertalenta membuat para penonton bersimpati kepadanya.

            Sekitar pukul 22.00 saya mendapat giliran memainkan suling Bali yang diiringi oleh Nita Aartsen (Piano), Gustu Brahmantara (Drum) dan Doddy (Bass). Seperti biasa saya mengobral cerita cara memainkan suling, menjelaskan tekhnik Ngunjal Angkihan (Circle Breathing), yaitu tekhnik memainkan suling secara terus menerus tanpa terputus. Cerita penjelasan tersebut adalah obat manjur untuk mencuri perhatian penonton agar mereka tidak ngobrol selama pertunjukan dan mengapresiasi aksi kita diatas panggung. Alhasil, lumayan membuat penonton terbahak, menjadi penasaran dan tentunya menghangatkan suasana.




            Instrumental suling yang saya mainkan berjudul Shiwi, cerita seorang putri cantik dari bumi impian yang diciptakan Desember 2009 karya Bli Ciaaattt di kota Brussel Belgia. Komposisi suling ini menonjolkan wewiletan (pengembangan dari melodi pokok) yang cepat dan akurat. Piano memberi aksen kuat bergaya samba, sedikit sexy dan bergairah . Drum dan bass menyambut dengan hentakan ngejazz kuat bernuansa amerika latin tapi terasa berenergi Bali.

            Dalam Shiwi ini, saya berusaha merefleksikan emosi cinta melalui olah gerak yang saya sebut Ngerijig. Gerakan Ngerijig yang artinya kaki  dijinjit bergerak kekiri dan kekanan yang disesuaikan dengan irama dan tempo  melodi. Bergerak seolah-olah menggoda si putri Shiwi yang cantik nan jelita diseluruh jagatraya. Ketika melakukan Ngerijig dengan alunan suling, saya sering mengintip reaksi penonton, mereka terlihat tidak saja serius mendengarkan suling cepat yang saya mainkan, tetapi juga merespon positif gerak Ngerijig yang saya tampilkan. Klik video shiwi : https://www.youtube.com/watch?v=xbKOxgIpxtk



Tompi vs Gamut

            Dalam sesi berikutnya tibalah super star dalam festival ini yaitu penampilan penyanyi tenar  Tompi. Saya sendiri belum kenal sama sekali dengan beliau ini yang memiliki suara emas dan indah ini. Tiba-tiba dalam satu kesempatan, Tompi mengundang saya memainkan kendang sunda untuk berinteraktif. Saya bersiap-siap berpikir untuk meladeninya, akan tetapi jari tangan terasa sakit dan tidak mungkin menghentak lagi. Tercuat ide  saya mengambil microphone dan melantunkan aneka suara ritmis cak, aneka angsel gamelan Bali, suara gong yang dinamakan Gamut. Gamut kepanjangan dari Gamelan Mulut. Gamut ini berceloteh bebas meniru bunyi nada gamelan dengan angselnya (perubahan tempo), bunyi  gong, bunyi kendang, bunyi cengceng (cymbal) dan bunyi instrumen gamelan lainnya.

            Tompi dengan menggunakan suara vokal yang unik, beradu asyik dengan Gamut. Publik sudah tercuri hatinya dengan bunyi nada yang kita padukan. Tompi juga mengeluarkan jurus-jurus kocak, yang saya respon dengan bahasa Gamut apa adanya. Penonton benar-benar terusik dengan ulah kita yang penuh canda nan ceria. Semua itu diluar skenario pertunjukan dan hanya improvisasi interaktif dalam 5 menit. Ternyata, penonton  sangat  mengapresiasi improvisasi tersebut, dan kitapun berpelukan sebagai ungkapan kebahagian bahwa improvisasi yang kita mainkan mendapat tempat di hati penonton yang setia menyaksikan kita. Untuk melihat penampian Tompi vs Gamut silahkan klik di links video dibawah ini  : https://www.youtube.com/watch?v=glSq-Vh46kc
(made agus wardana)



              

Senin, 31 Juli 2017

Aroma kemangi memikat hati di Masakan Rumah Etnik


           
            Lidah bergoyang, jika anda menikmati ikan gurami santan kemangi disini. Puas dihati, jika anda dilayani bagaikan raja minyak dalam 2 jam. Senyuman rendah hati, membuat anda tergoda ingin datang kembali kesini. Nuansa etnik Bali yang otentik dan pameran foto unik, memperkaya apresiasi budaya anda pada kebudayaan etnik nusantara. Kemana lagi, kalau bukan Masakan Rumah Etnik di Jalan Dewi Sri Kuta Bali. Tempat yang menyenangkan !

            Malam itu, persis pukul 19.00 pada bulan Juni 2017, wilayah Kuta dikerubuti turis nusantara bergaya ke’’bule’’an. Sedangkan turis asing bergaya sandal jepit menyesuaikan cuaca Bali yang hot. Warung ini dipenuhi pecinta kuliner dari segala umur. Wajah ceria dan puas terlihat ketika para pelanggan warung ini berjejer rapi menikmati masakan rumah di warung  ini. Bagi yang tidak reservasi mungkin akan membutuhkan waktu sejenak untuk menempati meja makan. Pokoknya jangan khawatir !


            Saya bersama keluarga memilih tempat yang istimewa ini. Sekaligus merayakan ultah adik ipar  ‘’Tut Mul’’ seorang  Human Resources Manager, Ayodya Resort Bali. Dari awal ketibaan kita, juru parkir, para waiters sudah menyambut dengan senyuman renyah. Kita memilih tempat di lantai 2, dimana terdapat aneka pameran foto karya Andika Darmawan sekaligus pemilik warung ini.  Pria simpatik yang dipanggil dengan ‘’Man Banana’’ ini adalah fotografer profesional yang  memajangkan hasil karya jepretannya di tempat ini. Dalam sekejap mata, saya sudah berdiri didepan foto tersebut. Mengamati keatas kebawah, mencermati cerita dalam foto itu.

            Dengan gaya seorang kritikus amatiran, saya bertanya, ‘’Man Kok karya fotonya biasa saja seperti pada umumnya ? Tarian Bali dengan ekpresi seperti itu  kan sudah Biasa ?. Man Banana, dengan nada sendu menjelaskan ‘’Bli, saya bangga sebagai orang Bali. Apa yang saya lihat dan cermati menjadi keunikan bagi saya. Penari Legong yang terlihat dalam foto tersebut adalah sebagian kecil kecintaan saya terhadap Budaya Hindu Bali. Saya ingin tarian Legong sebagai bagian dari kebudayaan Bali tetap eksis ditengah gempuran budaya instan yang menerjang daerah Kuta ini Bli ‘’. Terus, apa ciri khasnya hasil karya Man Banana ini ? dengan sumringah pula dia menjawab, ‘’ Bli saya masih belajar, saya masih mencari jati diri, barangkali ketika suatu saat nanti ciri khas itu akan datang dengan sendirinya. Doakan ya Bli ‘’ !


            Obrolan santai kita lalui bermenit-menit. Tibalah hidangan yang saya idolakan yaitu Gurami Santan Kemangi. Ikan ini sangat lucu wajahnya, dengan siraman bumbu base genep (aneka rempah-rempah khas bali) teraduk dengan santan fresh.  Aroma kemangi memikat hati. Jangan disantap dulu. Terlebih dahulu harus memperhatikan tekstur, aroma, warna dan penyajiannya. Setelah anda mencicipi dengan nafsu makan yang tenang, disitu pula rasa puas atas cita rasa masakan ini akan anda dapatkan. Jaen gati ! (enak sekali). Harganya hanya 59 k.





            Untuk menghipnotis lidah dari pengaruh gurihnya Gurami Santan Kemangi, tersedia dessert es tape ketan  dengan rasa yang lugu dan  jujur. Tanpa basa basi, saya menyantap dengan pelan-pelan namun pasti. Tidak mau berbincang ketika es tape ketan disantap. Saya tidak mau rasa enak hilang karena obrolan. Benar-benar diresapi, dinikmati dan tentunya diapresiasikan dengan tinggi hasil karya chef-chef muda di Warung Etnik ini.

Pilihan hati dan menenangkan.
           
            Banyaknya pilihan aneka kuliner yang berjubel di Bali, membuat para pecinta kuliner memilih dengan berhati-hati. Faktor kebersihan, cita rasa makanan, harga, tempat yang khas, keramahan dan kandungan budaya lokal masih menjadi idola. Ada beragam kemudahan yang ditawarkan oleh pemilik restoran, warung ataupun kedai kecil demi memuaskan pelanggannya.

            Namun dari semua itu, kebingungan dalam memilih aneka kuliner akan sirna jika kita berada di Warung Etnik ini. Saran saya, Warung Etnik memiliki faktor tersebut diatas. Dengan masakan rumahan, design yang cozy, tempat parkir serta kandungan budaya etnik lokal akan membuat anda merasa betah, nyaman seperti rumah anda sendiri. Masakan Rumah Etnik  yang terletak di Jl. Dewi Sri no 58  merupakan pilihan pas dihati dan akan menenangkan hati anda.







Selasa, 25 Juli 2017

Mari Mampir ke Museum Van Gogh, Amsterdam !




            Hmmm…! enak, segar dan terasa lega melepas dahaga. Saya meneguk sebotol smoothie kiwi bercampur yoghourt nature dengan tekstur bubur. Seharga 4 euro, cukup untuk mengisi energi selama 2 jam. Smoothie adalah minuman sari buah atau sayur yang berserat tinggi. Berbeda dengan jus biasa, yang kandungan seratnya lebih rendah. Smoothie lebih nendang dan membuat perut kenyang  melayang.  Namun demikian keduanya memiliki kesamaan yaitu minuman berserat sehat untuk tubuh kita. 

            Kecintaan saya terhadap smoothie khususnya rasa kiwi, mengingatkan akan  pelukan mesra sang istri tercinta. Apa coba hubungan antara pelukan istri dan rasa kiwi ? Sekedar ilustrasi saja bahwa  sekali berpelukan, rasa asem kiwi akan terasa manis hingga hati kesemsem mengembang bagai balon. Pengen meledak ledak.  Maka dari itu pembaca, sering-seringlah minum smoothie  rasa kiwi ada dua keuntungannya, pertama sehat, kedua  cinta anda akan kesemsem meledak-ledak. Ember !


            Seiring dengan berjalannya waktu, saya melangkah keluar dari stasiun Amsterdam Central.  Tiba-tiba saja, Braaak ! Nguing ! Kuping saya menabrak pintu keluar karena terdorong desakan para penumpang lainnya. Saya kaget rada kesel dan menoleh seseorang. Ternyata yang nabrak menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Dari sorot matanya yang tajam, gerak tingkah anggun, tersirat keramahan sepertinya dia seorang yang berbaik hati. Cantik inside terpancar cantik outside. Cieee…! Tanpa basa basi dia terlihat tergesa-gesa, menebar senyum dan lenyap dari kerumunan orang. Mimih !

            Aduh ! Kuping saya terasa sakit dan masih berdengung. Saya pegang dan pijat sesaat secara pelan-pelan. Tak lama kemudian, saya teringat dengan cerita tragis pelukis besar Belanda yaitu Vincent Van Gogh. Kupingnya dipotong sendiri karena sakit hati merasa hidupnya penuh derita. Derita yang berkepanjangan, muram karena karya lukisannya tidak mendapat apresiasi yang layak, tidak berhasil dalam memperoleh pasangan hidup dan lain-lain. Pokoknya depresi ingin bunuh diri. Kasihan !

            Siapa sangka pula bahwa setelah kematian van Gogh, terbentang cerah sebuah kemasyuran.  Lukisannya menjadi termasyur sepanjang masa.  Termasyur karena memiliki identitas, goresan bentuk distorsi, warna dinamis,  berkarya penuh emosi, penggunaan warna tak lazim, melukis obyek yang selalu tidak menyenangkan dan berani beda. Nah, untuk mengetahui lukisan Vincent Van Gogh lebih lanjut, saya ingin mengajak para pembaca mengunjungi museum Van Gogh di kota Amsterdam.  Mau Ikut ?


Face to face dengan Van Gogh.

            Jangan berharap akan selalu menyenangkan, disaat mengunjungi museum van gogh tanpa persiapan sebelumnya. Antrian panjang yang mengular di depan loket karcis hingga ratusan meter terlalu lama.  Terkadang melelahkan dan waktu habis terbuang. Untuk itulah, air mineral wajib dibawa, kesabaran harus dikantongi, atau gunakan waktu  membaca informasi museum dan membeli tiket secara online.
                       
            Di dalam ruangan museum, wajah lesu Vincent Van Gogh terpampang dalam portrait dirinya dengan goresan garis terputus-putus.  Senyumnya mahal banget, menunjukan ekspresi sesungguhnya muram dan keputusasaan. Vincent melukis portret dirinya lebih dari 30 lukisan, tetapi dipajang dimuseum ini hanya beberapa saja. Potret diri bukanlah narsisme seperti selfie jaman sekarang, melainkan sebagai introspeksi atas hidupnya serta untuk melatih keterampilan tekhnik melukis.

            Kemudian alat melukis,  cerita kehidupan pribadi, foto keluarga, tempat-tempat yang pernah dia kunjungi bahkan surat-surat yang ditulis ketika curhat dengan adiknya Theo tersebar diberbagai tempat dengan deskripsi lengkap dan informatif.  Pihak museum memang sangat lihai menyuguhkan informasi pelukis van gogh, semua serba profesional, jelas, terpercaya hingga larangan-larangan tertentu.

            Salah satu larangan itu adalah tidak boleh memotret didalam museum, kecuali dilakukan di ‘’foto corner’’ yang disediakan dengan latarbelakang Lukisan Van Gogh. Sekali-kali saya melihat pengunjung bandel memotret lukisan tanpa ada yang menegur. Ketika giliran saya bandel, seorang petugas dengan ramah menegur saya. Sayapun malu berwajah sendu, menyelinap diantara kerumunan pengunjung.  Kasihan dech gue !

            Selangkah kemudian saya berada dalam ruangan bernuansa gelap. Suasana sunyi walaupun banyak orang. Terlihat salah satu lukisan yang saya cari adalah De aardappeleters (Potato Eaters, 1885). Lukisan yang menyuguhkan sisi pahit figur keluarga petani kentang. Terlukis dengn dominasi hitam, raut muka para petani dengan lengan berotot alami, tampak lusuh, hanya diterangi oleh lampu gantung samar-samar. Bagi Vincent sendiri, sesungguhnya para petani sebagai kaum marjinal itu adalah sesosok para pekerja keras. Terinspirasi dari kaum marginal lukisan De Aardappeleters merupakan lukisan awalnya yang tidak  memperoleh apresiasi tetapi kemudian menjadi beken diseluruh dunia.


Impresionisme dan Ekpresionisme

            Apa sih Impresionisme dan Ekspresionisme dalam lukisan Van Gogh ? Jika Van Gogh tidak mengikuti kakaknya ke Perancis, barangkali lukisan Van Gogh tidak setenar sekarang. Dari Perancis, dia terpengaruh oleh aliran Impresionisme yang telah berkembang sejak tahun 1860 oleh Claude Monet yang mengawali lukisan berjudul  Impression Sunrise. Penggunaan warna warna cerah, kuatnya pencahayaan, obyek lukisan terlihat selintas, merupakan ciri khas aliran ini.  Dari sinilah Van Gogh merubah sedikit gaya lukisannya menjadi lebih cerah, sangat berbeda dengan lukisan sebelumnya yang terlukis suram dan gelap.


            Terus bagaimana dengan ekspresionisme dalam  lukisan Van Gogh ?  Ketidakbebasan berkarya dalam era aliran impresionisme membuat Van Gogh mengubah aliran menuju  ekspresionisme.  Perasaan emosi berlebihan, bathin yang terkoyak, kesedihan yang teramat digoreskan pada kanvas  yang sangat fenomenal. Lihat saja lukisan yang terkenal The Starry Nigh (188), Sunflowers (1888) semua muncul dalam ekspresi bathinnya. Apalagi ketika dia berada dalam tekanan mental dan dirawat di RS. Saint Paul-de-Mausole - Saint-Rémy-de-Provence, Perancis membuat dia justru tetap melukis mengekspresikan dirinya tentang apa yang terjadi disekitarnya terlukis melalui penggunaan warna warna yang sangat kuat dalam lukisannya.  (Made Agus Wardana)

Begini, Warga Bali rayakan Tumpek Kandang di Pura Agung Santi bhuwana, Belgia





            Menjaga keharmonisan hidup dengan semua mahluk didunia dan alam semesta merupakan sebuah amanat dalam ajaran agama hindu Bali. Umat Hindu sangatlah setia mengajarkan cinta kasih kepada seluruh ciptaan Tuhan.  Binatang ternak ataupun peliharaan diberikan hari khusus perayaan, bukan untuk disembah melainkan untuk dihormati dan disyukuri keberadaannya.

            Seperti yang dilakukan masyarakat Hindu Bali, berjumlah ratusan datang dari berbagai belahan negara Eropa secara serentak merayakan hari Raya Tumpek Kandang di Pura Agung Santi Bhuwana, Pairi Daiza Belgia Sabtu, 24 Juni 2017 lalu. Kegiatan yang dikoordinir oleh perkumpulan masyarakat Hindu Bali yaitu Banjar Shanti Dharma Belgia Luxembourg ini,  merupakan kegiatan keagamaan dan pelestarian identitas kebudayaan Bali di luar Negeri.

            Hari ini adalah hari Tumpek Kandang dimana pada hari yang baik ini, kita memuja Ida Sanghyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Rare Angon, pengembala makhluk. Di hari ini, kita ingatkan bahwa binatang ternak ataupun peliharaan kita harus hargai, hormati dan sayangi, ujar Made Agus Wardana, Ketua atau Kelian Banjar Santi Dharma Belgia Luxembourg.


            Di pagi hari, pukul 10.00 -12.00 dilakukan persembahyangan bersama dengan sarana upacara yang dibuat secara sederhana dan sukarela oleh para ibu juru banten yang sangat kreatif menjaga semangat beryadnya (menghaturkan secara tulus iklas). Kemudian pada pukul 13.00 -15.00 diadakan acara megibung, yaitu kegiatan makan bersama, membawa makanan sendiri, dibagikan kepada masayrakat yang lain. Tradisi ini sudah menjadi rutinitas dalam setiap upacara persembahyangan yang dilakukan di Pura Ini. Harapan mereka, megibung dapat menjaga persaudaraan tanpa terusik oleh perbedaan soroh/klan, golongan dan lain-lain.

            Untuk memeriahkan perayaan Tumpek Kandang, para seniman tabuh dan tari juga menampilkan kreatifitas bermain gamelan dan tarian Bali seperti tari Pendet, Legong Keraton, Rejang, Janger dan Genjek, Panyembrama yang khusus ditujukan untuk para pengunjung Pairi Daiza. Hal menarik terjadi, ketika dilakukan interaktif gamelan dan tari Bali, mengajak warga Belgia menari Bali, sangat diminati para pengunjung yang berjubel di tempat pertunjukan seni tersebut.






            Taman Pairi Daiza sebagai taman konservasi alam, flora Fauna dan Budaya Dunia  ini terletak 85 km dari kota Brussel. Taman yang menjadi  idola masyrakat Eropa ini, dinobatkan sebagai salah satu yang terbaik di Eropa karena memuliakan peradaban budaya dunia lain, seperti hadirnya Pura Bali yang dinamakan Pura Agung Santi Bhuwana  dengan sawah berundak undaknya. (Ciaaattt)











Perayaan Galungan dan Kuningan di Wassenar Belanda


           
            Kokohnya kebudayaaan hindu Bali tidak saja tergantung kepada penyajian seni semata. Belajar gamelan dan tari sudah lazim sebagai bagian dari pelestarian budaya demi menjaga keutuhan Bali. Mendengarkan Dharma Wacana tentang bimbingan kerohanian, umatnya hanya menjadi pendengar yang baik. Kemudian merayakan hari besar keagamaan setiap 6 bulan sekali, bagi sebagian orang cukup memberatkan. Kenapa ?

            Berbeda dengan masyarakat hindu Bali di Eropa dalam upaya menjaga kokohnya budaya hindu tersebut. Melalui adaptasi dengan lingkungan sekitarnya, menyesuaikan waktu, mereka berbaur ditengah masyarakat multikultur negeri Eropa. Memberikan ruang, keterbukaan, menjalin hubungan, membagi pengalaman hingga bergotong royong.


            Pada hari Sabtu, 15 April 2017 kemarin, dalam suasana musim semi bersuhu 11 derajat masyarakat hindu Bali merayakan Galungan dan Kuningan di wisma Duta Besar, Wassenaar Belanda. Ratusan umat hindu dari Belanda, Belgia, Perancis, Inggris, Jerman,ceko, malta, Irlandia hening melantunkan Puja Trisandya dan Panca Sembah sebagai bagian dari acara persembahyangan dipagi hari. Tidak saja warga Bali, tetapi warga Eropa turut aktif melakukan persembahyangan bersama.

            Galungan dan Kuningan adalah rangkaian hari raya besar umat hindu Bali yang jatuh setiap 210 hari sekali menurut kalender Bali. Galungan selalu bertepatan dengan hari rabu (kalender Bali : Buda Kliwon Dungulan) dan Kuningan selalu bertepatan dihari sabtu (Kalender Bali : Saniscara kliwon kuningan). Galungan sebagai hari kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kebathilan). Sedangkan Kuningan sebagai rangkaian dari Galungan bermakna lebih kepada pengendalian dan intropeksi diri. Kedua hari raya ini mengingatkan kita betapa pentingnya mengucapkan puji syukur kepada Ida sanghyang widi wasa atas ciptaan alam semesta beserta isinya. 




            Hadir dalam kesempatan tersebut Bapak Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja,  masyarakat Indonesia, Friends of Indonesia, perwakilan Kementerian Luar Negeri Belanda dan para Duta Besar negara sahabat.  Dalam sambutannya, Dubes Wesaka Puja menyampaikan ucapan selamat hari raya Galungan dan Kuningan kepada seluruh  umat hindu di Eropa. 

            Pada siang hari dari pukul 13.00 – 17.00 diselenggarakan festival budaya yang bertema one day in Bali and beyond, dimeriahkan oleh pertunjukan gamelan dan tari bali, musik ethnic dan hiburan lainnya. Sebanyak empat grup gamelan yang tampil dalkam kegiatan tersebut adalah Swara Santi (Amstelveen), Sekar Alit (Leiden), Banjar Suka Duka Nederland dan Grup Gamelan Belanda – Belgia. Adapun tarian Bali yang ditampilkan adalah Rejang dewa, Barong, topeng keras, topeng Tua, Bondres, cendrawasih, margapati, legong keraton. Sedangkan penampilan musik ethnik dimainkan Reggy Aggerbeek (guitar), Ari Kurniawan (sax) dan Bli Ciaaattt (suling Bali).

                Penonton yang hadir dalam pertunjukan tersebut sangat antusias dan memberi perhatian khusus terhadap penampilan seniman yang berpartisipasi dengan kegiatan ini bahkan sangat kagum akan kekuatan budaya Hindu Bali yang begitu mempesona warga Belanda. Sepasang warga Belanda yang bernama Erik Van Rossem dan Arjanti Sosrohadikoesoemo selalu hadir disetiap kegiatan budaya Hindu Bali. Kedua Warga keturunan Indonesia ini merasa bangga diterima ditengah-tengah masyarakat Hindu lainnya walaupun mereka tidak menganut Hindu. ‘’Saya tidak saja berpartisipasi bermain gamelan Bali tetapi juga respek budaya Hindu Bali yang banyak mengandung nilai toleransi dan kedamaian,’’. Saya sangat  senang diterima dan menjadi keluarga besar masyarakat Bali di Eropa, ujar erik dan arjanti disela-sela kegiatan tersebut.


Desa kala patra,  menjaga keutuhan budaya hindu Bali

            Melihat gencarnya pengaruh budaya luar terhadap keutuhan Hindu Bali membuat banyak pihak merasa ‘’pesimis’’ dengan Bali. Mengikisnya tanah persawahan, padatnya jumlah penduduk multikultur menjadi tantangan terhadap keutuhan kebudayaan Hindu Bali tersebut. Pembangunan yang tidak terbendung, perubahan pola pikir akan kebutuhan sandang pakan papan yang setiap harinya memerlukan biaya yang sangat tinggi.

            Bagaimana dengan masyarakat Hindu Bali sendiri ? Apakah mereka mampu bertahan menjaga keutuhan Budaya Hindu Bali ditengah persaingan, gempuran budaya luar dan pariwisata ? Tidak gampang memang menjadi manusia Bali (baca Nak Bali) yang harus taat terhadap adat istiadatnya. Banyak keharusan yang mesti dijalankan. Tidak gampang pula dengan bertahan hidup dengan biaya tinggi ditengah pariwisata internasional yang serba mahal.

            Dari sekian banyak cara mengatasi tantangan tersebut diatas, sebagai ‘’nak Bali’’ barangkali kita bisa meniru model kesederhanaan kegiatan hari raya besar Hindu Bali di Eropa. Berpedoman dengan tiga kearifan lokal Bali yaitu Desa (tempat), kala (waktu), Patra (kondisi). Setiap kegiatan keagamaan disesuaikan dengan ketiga unsur tersebut. Hal ini menjadi sangat efisien dan memudahkan semua pihak tanpa mengurangi esensi kegiatannya. Sarana persembahyangan seperti banten sangat sederhana. Durasi kegiatan memerlukan waktu hanya sehari, tidak perlu berhari-hari. Dijalankan dengan hati senang, biaya murah dengan penuh makna. Ini terbukti, semakin hari semakin berkembang pesat masyarakat hindu Bali di Eropa giat melakukan ibadah yang diacarakan oleh komunitas masyarakat Hindu bali di berbagai kota besar di Eropa.







(Made Agus Wardana, tinggal di belgia)

           



Selasa, 16 Mei 2017

Konser JERUJI yang ‘’teruji’’ di Belgia



            Para komunitas hardcore punk, metal di kota Mons tadi malam terlarut dalam hentakan keras konser perdana JERUJI band asal Bandung di JOC Mons Belgia Senin, 10 April 2017. Teknis permainan para pemusik band ini tidak diragukan lagi. Skill tinggi dan kompak ditambah dengan gaya vokal shouting yang mampu menghipnotis komunitas tersebut. ‘’Saya sangat kagum dengan penampilan kalian (JERUJI), ‘’ very very good ! ujar Johan Detilleux pihak penyelengara dari Alive Records, Mons.

            JERUJI menampilkan 10 lagu original karya mereka sekaligus mempromosikan album kelima terbaru yaitu Stay True.   Gedung JOC tersesak padat oleh para komunitas tersebut sehingga meluber keluar gedung pertunjukan. Antusias penonton sangat positif dan apresiatif. Komunitas tersebut tergoyang ketika moshing/slamdancing  bergerak kesana kemari tanpa menimbulkan aksi kekerasan diantara mereka. Bahkan diakhir pertunjukan suasana kekeluargaan antar komunitas itu berlangsung dengan penuh toleransi.




            Grup Band JERUJI dibentuk pada tahun 1996 dengan beranggotakan Sani (drummer), Ginan (vokalis), Andrie (gitaris) dan bassist Hendy alias Pengex. Konser tahun ini bertajuk  JERUJI 20th Anniversary of European Tour dari tanggal 7 April – 29 April 2017. Tur Eropa ini akan menggelar konser di Belgia, Perancis, Hongaria, Polandia, Ceko, Jerman dan Austria sebanyak 20 konser yang diundang oleh Enemy Booking, Penyelenggara konser musik metal dari Eropa Timur.

            Dalam kesempatan tersebut, KBRI Brussel menyambut gembira penampilan Konser JERUJI di Belgia sebagai momentum sejarah khususnya membuktikan perkembangan para pemusik muda Indonesia.  Indonesia tidak saja memiliki khasanah budaya folklorlistik, tetapi memiliki budaya modern yang pantas diakui dunia. JERUJI salah satunya telah membuktikan diri bahwa  aliran hardcore punk, metal yang dimainkan mendapat tempat dihati warga Belgia.



             Hadir dalam konser tersebut, Ignatius Priambodo Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Brussel dan beberapa masyarakat Indonesia yang berdomisili di kota Mons. "KBRI Brussel sangat mendukung kegiatan  JERUJI 20th Anniversary of European Tour khususnya di Belgia. Penampilan Jeruji sangat luar biasa malam ini dan mudah-mudahan konser mereka di Yper akan lebih dashyat lagi," ujar Ignatius. Jeruji akan melanjutkan tur mereka ke Nantes, Prancis dan kembali tampil di Yper, Belgia tanggal 29 April 2017.


(made agus wardana )