Kokohnya
kebudayaaan hindu Bali tidak saja tergantung kepada penyajian seni semata.
Belajar gamelan dan tari sudah lazim sebagai bagian dari pelestarian budaya
demi menjaga keutuhan Bali. Mendengarkan Dharma Wacana tentang bimbingan
kerohanian, umatnya hanya menjadi pendengar yang baik. Kemudian merayakan hari
besar keagamaan setiap 6 bulan sekali, bagi sebagian orang cukup memberatkan.
Kenapa ?
Berbeda
dengan masyarakat hindu Bali di Eropa dalam upaya menjaga kokohnya budaya hindu
tersebut. Melalui adaptasi dengan lingkungan sekitarnya, menyesuaikan waktu,
mereka berbaur ditengah masyarakat multikultur negeri Eropa. Memberikan ruang,
keterbukaan, menjalin hubungan, membagi pengalaman hingga bergotong royong.
Pada
hari Sabtu, 15 April 2017 kemarin, dalam suasana musim semi bersuhu 11 derajat
masyarakat hindu Bali merayakan Galungan dan Kuningan di wisma Duta Besar,
Wassenaar Belanda. Ratusan umat hindu dari Belanda, Belgia, Perancis, Inggris,
Jerman,ceko, malta, Irlandia hening melantunkan Puja Trisandya dan Panca Sembah
sebagai bagian dari acara persembahyangan dipagi hari. Tidak saja warga Bali,
tetapi warga Eropa turut aktif melakukan persembahyangan bersama.
Galungan
dan Kuningan adalah rangkaian hari raya besar umat hindu Bali yang jatuh setiap
210 hari sekali menurut kalender Bali. Galungan selalu bertepatan dengan hari
rabu (kalender Bali : Buda Kliwon Dungulan) dan Kuningan selalu bertepatan dihari
sabtu (Kalender Bali : Saniscara kliwon kuningan). Galungan sebagai hari
kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kebathilan). Sedangkan Kuningan
sebagai rangkaian dari Galungan bermakna lebih kepada pengendalian dan
intropeksi diri. Kedua hari raya ini mengingatkan kita betapa pentingnya mengucapkan
puji syukur kepada Ida sanghyang widi wasa atas ciptaan alam semesta beserta
isinya.
Hadir dalam kesempatan tersebut
Bapak Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja, masyarakat Indonesia, Friends of Indonesia,
perwakilan Kementerian Luar Negeri Belanda dan para Duta Besar negara sahabat. Dalam sambutannya, Dubes Wesaka Puja
menyampaikan ucapan selamat hari raya Galungan dan Kuningan kepada seluruh umat hindu di Eropa.
Pada siang hari dari pukul 13.00 – 17.00 diselenggarakan festival budaya
yang bertema one day in Bali and beyond,
dimeriahkan oleh pertunjukan gamelan dan tari bali, musik ethnic dan hiburan
lainnya. Sebanyak
empat grup gamelan yang tampil dalkam kegiatan tersebut adalah Swara Santi (Amstelveen),
Sekar Alit (Leiden), Banjar Suka Duka Nederland dan Grup Gamelan Belanda –
Belgia. Adapun tarian Bali yang ditampilkan adalah Rejang dewa, Barong, topeng
keras, topeng Tua, Bondres, cendrawasih, margapati, legong keraton. Sedangkan
penampilan musik ethnik dimainkan Reggy Aggerbeek (guitar), Ari Kurniawan (sax)
dan Bli Ciaaattt (suling Bali).
Penonton yang hadir dalam
pertunjukan tersebut sangat antusias dan memberi perhatian khusus terhadap
penampilan seniman yang berpartisipasi dengan kegiatan ini bahkan sangat kagum
akan kekuatan budaya Hindu Bali yang begitu mempesona warga Belanda. Sepasang
warga Belanda yang bernama Erik Van Rossem dan Arjanti Sosrohadikoesoemo selalu
hadir disetiap kegiatan budaya Hindu Bali. Kedua Warga keturunan Indonesia ini merasa
bangga diterima ditengah-tengah masyarakat Hindu lainnya walaupun mereka tidak
menganut Hindu. ‘’Saya tidak saja berpartisipasi bermain gamelan Bali tetapi
juga respek budaya Hindu Bali yang banyak mengandung nilai toleransi dan
kedamaian,’’. Saya sangat senang diterima
dan menjadi keluarga besar masyarakat Bali di Eropa, ujar erik dan arjanti
disela-sela kegiatan tersebut.
Desa kala
patra, menjaga keutuhan budaya hindu Bali
Melihat
gencarnya pengaruh budaya luar terhadap keutuhan Hindu Bali membuat banyak
pihak merasa ‘’pesimis’’ dengan Bali. Mengikisnya tanah persawahan, padatnya
jumlah penduduk multikultur menjadi tantangan terhadap keutuhan kebudayaan
Hindu Bali tersebut. Pembangunan yang tidak terbendung, perubahan pola pikir akan
kebutuhan sandang pakan papan yang setiap harinya memerlukan biaya yang sangat
tinggi.
Bagaimana
dengan masyarakat Hindu Bali sendiri ? Apakah mereka mampu bertahan menjaga
keutuhan Budaya Hindu Bali ditengah persaingan, gempuran budaya luar dan
pariwisata ? Tidak gampang memang menjadi manusia Bali (baca Nak Bali) yang
harus taat terhadap adat istiadatnya. Banyak keharusan yang mesti dijalankan. Tidak
gampang pula dengan bertahan hidup dengan biaya tinggi ditengah pariwisata
internasional yang serba mahal.
Dari
sekian banyak cara mengatasi tantangan tersebut diatas, sebagai ‘’nak Bali’’ barangkali
kita bisa meniru model kesederhanaan kegiatan hari raya besar Hindu Bali di
Eropa. Berpedoman dengan tiga kearifan lokal Bali yaitu Desa (tempat), kala
(waktu), Patra (kondisi). Setiap kegiatan keagamaan disesuaikan dengan ketiga
unsur tersebut. Hal ini menjadi sangat efisien dan memudahkan semua pihak tanpa
mengurangi esensi kegiatannya. Sarana persembahyangan seperti banten sangat sederhana. Durasi
kegiatan memerlukan waktu hanya sehari, tidak perlu berhari-hari. Dijalankan
dengan hati senang, biaya murah dengan penuh makna. Ini terbukti, semakin hari
semakin berkembang pesat masyarakat hindu Bali di Eropa giat melakukan ibadah
yang diacarakan oleh komunitas masyarakat Hindu bali di berbagai kota besar di
Eropa.
(Made Agus Wardana, tinggal di
belgia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar