Selasa, 25 Juli 2017

Perayaan Galungan dan Kuningan di Wassenar Belanda


           
            Kokohnya kebudayaaan hindu Bali tidak saja tergantung kepada penyajian seni semata. Belajar gamelan dan tari sudah lazim sebagai bagian dari pelestarian budaya demi menjaga keutuhan Bali. Mendengarkan Dharma Wacana tentang bimbingan kerohanian, umatnya hanya menjadi pendengar yang baik. Kemudian merayakan hari besar keagamaan setiap 6 bulan sekali, bagi sebagian orang cukup memberatkan. Kenapa ?

            Berbeda dengan masyarakat hindu Bali di Eropa dalam upaya menjaga kokohnya budaya hindu tersebut. Melalui adaptasi dengan lingkungan sekitarnya, menyesuaikan waktu, mereka berbaur ditengah masyarakat multikultur negeri Eropa. Memberikan ruang, keterbukaan, menjalin hubungan, membagi pengalaman hingga bergotong royong.


            Pada hari Sabtu, 15 April 2017 kemarin, dalam suasana musim semi bersuhu 11 derajat masyarakat hindu Bali merayakan Galungan dan Kuningan di wisma Duta Besar, Wassenaar Belanda. Ratusan umat hindu dari Belanda, Belgia, Perancis, Inggris, Jerman,ceko, malta, Irlandia hening melantunkan Puja Trisandya dan Panca Sembah sebagai bagian dari acara persembahyangan dipagi hari. Tidak saja warga Bali, tetapi warga Eropa turut aktif melakukan persembahyangan bersama.

            Galungan dan Kuningan adalah rangkaian hari raya besar umat hindu Bali yang jatuh setiap 210 hari sekali menurut kalender Bali. Galungan selalu bertepatan dengan hari rabu (kalender Bali : Buda Kliwon Dungulan) dan Kuningan selalu bertepatan dihari sabtu (Kalender Bali : Saniscara kliwon kuningan). Galungan sebagai hari kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kebathilan). Sedangkan Kuningan sebagai rangkaian dari Galungan bermakna lebih kepada pengendalian dan intropeksi diri. Kedua hari raya ini mengingatkan kita betapa pentingnya mengucapkan puji syukur kepada Ida sanghyang widi wasa atas ciptaan alam semesta beserta isinya. 




            Hadir dalam kesempatan tersebut Bapak Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja,  masyarakat Indonesia, Friends of Indonesia, perwakilan Kementerian Luar Negeri Belanda dan para Duta Besar negara sahabat.  Dalam sambutannya, Dubes Wesaka Puja menyampaikan ucapan selamat hari raya Galungan dan Kuningan kepada seluruh  umat hindu di Eropa. 

            Pada siang hari dari pukul 13.00 – 17.00 diselenggarakan festival budaya yang bertema one day in Bali and beyond, dimeriahkan oleh pertunjukan gamelan dan tari bali, musik ethnic dan hiburan lainnya. Sebanyak empat grup gamelan yang tampil dalkam kegiatan tersebut adalah Swara Santi (Amstelveen), Sekar Alit (Leiden), Banjar Suka Duka Nederland dan Grup Gamelan Belanda – Belgia. Adapun tarian Bali yang ditampilkan adalah Rejang dewa, Barong, topeng keras, topeng Tua, Bondres, cendrawasih, margapati, legong keraton. Sedangkan penampilan musik ethnik dimainkan Reggy Aggerbeek (guitar), Ari Kurniawan (sax) dan Bli Ciaaattt (suling Bali).

                Penonton yang hadir dalam pertunjukan tersebut sangat antusias dan memberi perhatian khusus terhadap penampilan seniman yang berpartisipasi dengan kegiatan ini bahkan sangat kagum akan kekuatan budaya Hindu Bali yang begitu mempesona warga Belanda. Sepasang warga Belanda yang bernama Erik Van Rossem dan Arjanti Sosrohadikoesoemo selalu hadir disetiap kegiatan budaya Hindu Bali. Kedua Warga keturunan Indonesia ini merasa bangga diterima ditengah-tengah masyarakat Hindu lainnya walaupun mereka tidak menganut Hindu. ‘’Saya tidak saja berpartisipasi bermain gamelan Bali tetapi juga respek budaya Hindu Bali yang banyak mengandung nilai toleransi dan kedamaian,’’. Saya sangat  senang diterima dan menjadi keluarga besar masyarakat Bali di Eropa, ujar erik dan arjanti disela-sela kegiatan tersebut.


Desa kala patra,  menjaga keutuhan budaya hindu Bali

            Melihat gencarnya pengaruh budaya luar terhadap keutuhan Hindu Bali membuat banyak pihak merasa ‘’pesimis’’ dengan Bali. Mengikisnya tanah persawahan, padatnya jumlah penduduk multikultur menjadi tantangan terhadap keutuhan kebudayaan Hindu Bali tersebut. Pembangunan yang tidak terbendung, perubahan pola pikir akan kebutuhan sandang pakan papan yang setiap harinya memerlukan biaya yang sangat tinggi.

            Bagaimana dengan masyarakat Hindu Bali sendiri ? Apakah mereka mampu bertahan menjaga keutuhan Budaya Hindu Bali ditengah persaingan, gempuran budaya luar dan pariwisata ? Tidak gampang memang menjadi manusia Bali (baca Nak Bali) yang harus taat terhadap adat istiadatnya. Banyak keharusan yang mesti dijalankan. Tidak gampang pula dengan bertahan hidup dengan biaya tinggi ditengah pariwisata internasional yang serba mahal.

            Dari sekian banyak cara mengatasi tantangan tersebut diatas, sebagai ‘’nak Bali’’ barangkali kita bisa meniru model kesederhanaan kegiatan hari raya besar Hindu Bali di Eropa. Berpedoman dengan tiga kearifan lokal Bali yaitu Desa (tempat), kala (waktu), Patra (kondisi). Setiap kegiatan keagamaan disesuaikan dengan ketiga unsur tersebut. Hal ini menjadi sangat efisien dan memudahkan semua pihak tanpa mengurangi esensi kegiatannya. Sarana persembahyangan seperti banten sangat sederhana. Durasi kegiatan memerlukan waktu hanya sehari, tidak perlu berhari-hari. Dijalankan dengan hati senang, biaya murah dengan penuh makna. Ini terbukti, semakin hari semakin berkembang pesat masyarakat hindu Bali di Eropa giat melakukan ibadah yang diacarakan oleh komunitas masyarakat Hindu bali di berbagai kota besar di Eropa.







(Made Agus Wardana, tinggal di belgia)

           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar