Rabu, 18 Maret 2015

Gamelan Gong Kebyar Bali di Gennevilliers, Perancis


            Sebanyak enam kali pertunjukan dalam 2 hari berturut-turut dari tanggal 12 - 13 Maret 2015,  Puspa Warna sebuah grup gamelan Bali dari Paris Perancis membuat kagum  publik  Perancis di L’espace Aime Cesaire - Kota Gennevilliers, 10 km dari Menara Eiffel Perancis. Publik yang terdiri dari anak-anak, akademisi, pemusik dan  penari profesional serta kalangan umum seakan tiada henti mengumbar senyum kepuasan menyaksikan pertunjukan tersebut. Termasuk didalamnya berbaur akrab Bapak Duta Besar RI untuk Perancis  Dr. Hotmangaradja Pandjaitan, yang berkesempatan hadir dalam kegiatan tersebut. Sangat hebat ! Itulah ungkapan mengesankan Dominique Meyrand, panitia penyelenggara program seni budaya Conservatoire de Gennevilliers terhadap penampilan grup Puspa Warna ini.






            Pertunjukan seni Bali yang bertitel Musique et Danse  à Bali merupakan salah satu program pengenalan musik dunia yang diperkenalkan di sekolah musik ‘’Conservatoire de Gennevilliers’’. Program tersebut ditujukan khusus kepada anak-anak sekolah dasar dan umum yang berjumlah 1000 orang. Disamping anak-anak tersebut memainkan gamelan dalam bentuk workshop, mereka juga diberikan pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia yang sekaligus menyaksikan langsung pertunjukan  ‘’Musique et Danse a Bali ‘tersebut.



            Grup Puspa Warna didirikan tahun 2011 oleh Trio Penabuh Gamelan Bali - Paris (Jeremie Abt, Tseng Hsiao Yun dan Théo Mérigeau).  Adapun materi seni yang ditampilkan diantaranya tari Panyembrama, Kebyar Duduk, Rejang, Topeng Bondres, Tabuh Hujan Mas dan Barong Ket.  Tari Panyembrama dan Kebyar Duduk secara bergantian ditarikan oleh Kadek Puspasari dan Ilse Peralta warga Meksiko. Tari Rejang ditarikan oleh anak-anak Indonesia dan Indo-Perancis yang dibina oleh Kadek Puspasari. Topeng Bondres dibawakan oleh I Gede Tapa Sudana, Mas Soegeng dan Made Agus Wardana. Sedangkan Tari Barong ditarikan oleh Made Agus Wardana, Théo Mérigeau dan Christophe Moure.




Topeng Bondres
Bondres sebagai sebagai bagian dari drama tari topeng, menampilkan 3 tokoh unik yaitu tokoh Penasar/Punta (Tapa Sudana) Kartala (Made Agus Wardana) dan tokoh khusus  Kartolo Jawa (Mas Soegeng). Ketiga tokoh tersebut memerankan karakter yang berbeda-beda menggunakan bahasa Bali, Indonesia dan Bahasa Perancis.  Seniman teater Tapa Sudana yang sudah menetap 30 tahun di Perancis memerankan sangat pas  seorang penasar yang menterjemahkan bahasa dan gending Bali ke bahasa Perancis. Publik sangat mudah mengerti dan memahami pesan-pesan moral yang disampaikan. Salah satu pesan tersebut  adalah pentingnya pedoman ajaran etika dharma dalam agama Hindu Bali yang dikenal dengan Tri Kaya Parisudha. ‘’ Pikirkan sesuatu itu dengan Baik, Berkatalah yang baik serta Berbuatlah yang baik ‘’. ujar Tapa Sudana diatas panggung pertunjukan.  




Mas Soegeng, seniman teater yang berdomisili di  Perancis ini memerankan seorang Kartala yang lahir di Jawa dan diberi nama Kartolo. Dengan peran lemah-lembut Kartolo melantunkan Gambang Suling Jawa yang diiringi dengan gamelan Bali. Sedangkan Kartala yang diperankan oleh Made Agus Wardana Seniman Bali yang tinggal di Belgia melantunkan gending Bali dan gerak tari yang mempertunjukan mimik topeng WajahkuWajahmu, dimana wajah topeng tersebut memiliki kemiripan dengan wajah pemakainya. (Ciaaattt-MB)



Jumat, 06 Maret 2015

Kadek Juliana : Pengrajin topeng berbakat alami dari Singapadu



                Beruntunglah mereka yang dibekali bakat atau talenta dalam hidupnya. Bakat yang sudah dibawa sejak lahir itu merupakan faktor bawaan.  Jika didukung dengan ketrampilan, bakat tersebut akan menjadi sebuah kelebihan.  Sebaliknya jika bakat dibiarkan saja tanpa pengarahan dan pendidikan maka bakat tersebut akan tidak berguna sama sekali.

Dek No

                Kadek Juliana, 33 tahun lahir di Banjar Abasan, Singapadu Bali tekun mengukir, mengasah, memoles hasil karyanya berupa topeng-topeng khas Bali.  Bakat khusus sebagai pengrajin topeng yang dimilikinya dimanfaatkan secara optimal.  Dengan motivasi kuat serta minat besar  Dek No panggilan akrabnya berhasil menjadikan dirinya seorang pengrajin topeng professional. Hasil karyanya dilirik tidak saja dari Bali tetapi juga ke manca negara.

Ditemui disela-sela kesibukannya memahat topeng,  rangda dan barong  Dek No bertutur sopan dan santun menyambut  siapa saja yang datang berkunjung ke pondok ‘’Kubu Topeng’’ miliknya. Karya-karya topeng yang dibuatnya menggunakan Warna Bali, yaitu warna autentik Bali yang menggunakan bahan dasar tumbukan tulang atau tanduk binatang bercampur  mangsi (sisa pembakaran) dan batu gunung yamg memancarkan warna asli alami. Tangan terampil dan ketekunan kunci sukses Dek No mengembangkan karirnya.  Disamping itu tempaan ayahandanya I Nyoman Juala, yang juga sebagai pengrajin topeng kesohor di desa Singapadu Gianyar.



Hasil karya beberapa topeng yang dipajang di Pondok Kubu Topeng menarik seorang peneliti topeng Charlie Windelschmidt dari Perancis. Charlie sangat terpikat dengan gaya, tekhnik, warna Bali yang digunakan Dek No.  Sebagai seorang peneliti yang dua bulan berada di Bali, Charlie tidak saja memesan beberapa topeng, dia juga belajar membuat topeng seperti topeng Sidakarya, Rangda dan Barong.  Topeng tersebut akan diperkenalkan di Perancis dalam berbagai kegiatan budaya, pameran maupun pertunjukan kontemporer.  Karakter, bentuk, warna, ritual serta tradisi yang menguatkan keunikan topeng Bali menjadi pilihan Charlie. ‘’Saya bangga dan senang tinggal dirumah Dek No, disamping belajar membuat topeng, saya bisa tinggal dan menikmati kesederhanaan kehidupan seorang seniman yang ramah di Bali ini, ujar Charlie penuh antusias.

Topeng ‘’WajahkuWajahmu’’

                Salah satu karya terunik dari Dek No adalah Topeng ‘’WajahkuWajahmu’’. Topeng  ini berwajah simpatik dengan karakter ramah memiliki kemiripan dengan wajah pemakainya yaitu Made Agus Wardana, seniman Bali tinggal di Belgia.  Topeng ini merupakan pesanan khusus terbuat dari kayu pole.  Pengerjaan sangat detail dan menghabiskan waktu berminggu-minggu.  Hasilnya luar biasa dan  sesuai dengan wajah pemakainya.   Topeng tersebut akan ditampilkan dalam pertunjukan topeng Bondres  dalam program Musique et Danse de Bali  tanggal 13 Maret 2015 di kota Gennevillers, 10 km dari Menara Eiffel Paris, Perancis. Dalam pertunjukan topeng Bondres tersebut akan ditampilkan seniman-seniman topeng yang menetap di Perancis dan Belgia diantaranya Tapa Sudana, Mas Soegeng dan Made Agus Wardana. Bondres ini akan menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa pengantar yang diiringi gamelan Gong Kebyar oleh Grup Gamelan Bali Perancis Puspa Warna.


topeng wajahkuwajahmu


Peran orang tua
                Perlu ditegaskan bahwa bakat itu ada dalam diri kita. Bakat akan berkembang jika didukung oleh didikan orang tua, pengaruh lingkungan, disiplin dalam pelatihan dan minat. Sayang sekali jika bakat anak-anak kita tidak tersalurkan dengan baik sesuai dengan kesukaannya dia. Apapun bakat yang dimiliki baik seni, olahraga, bahasa, IT, ketrampilan ataupun berjualan kalau  dikembangkan secara optimal akan memberikan kesan positif terhadap daya juangnya kelak. Dalam hal ini, peran orang tua mengarahkan dan membimbing anak berbakat sangatlah penting. Bisa dibayangkan, Dek No dengan bakatnya sebagai pengrajin topeng tanpa ada peran dan dorongan dari ayahnya Pak Juala, barangkali topengnya tidak akan pernah menjelajah manca negara.  Berkat bakat ini pula, Dek No memberikan penghidupan berarti kepada anak dan istrinya di pondok Kubu Topeng, Banjar Abasan, Singapadu Gianyar Bali.(Ciaaattt-MB)


Selasa, 03 Maret 2015

Seniman Janger Pegok yang gagah itu telah tiada (1926 - 2015)



                Mendengar kata Janger, hati kita akan tertuju pada masa muda belia. Masa-masa  dimana cinta sangat mempengaruhi gejolak asmara pemuda dan pemudi Bali.  Janger adalah seni pertunjukan tari dan vokal yang tergolong dalam tarian rakyat.  Sebagai sebuah seni pergaulan,  Kecak Janger memadu kasih melalui gerak tari ‘’merayu’’ beserta  alunan gending dengan bahasa Bali mesra yang sederhana dan sopan. Janger ditarikan oleh 24 penari laki disebut kecak dan penari perempuan disebut Janger. Beberapa grup Janger yang terkenal di Bali diantaranya Janger Kedaton, Janger Bengkel, Janger Peliatan, Janger Abian Timbul dan Janger Pegok.

I Wayan Randug


                Seorang penari Janger Pegok  Ni Wayan Kondri/Dadong Paku (87 tahun)  sangat tabah dan tulus iklas menerima kepergian suaminya tersayang yaitu I Wayan Randug/Pekak Paku (89 tahun) seorang seniman Janger asal Pegok berwajah tampan, karismatik, gagah  dan sederhana. Menurut Ni Wayan Kondri, disamping dia tergoda dengan kepiawaian menari dan menabuh, hatinya luluh jika melihat senyuman maut dan sorotan matanya yang tajam. 


Wayan Randug  (kiri), Ni Made Rikiani (tengah), Ni Wayan Kondri (Kanan)
berfoto bersama pada tahun 1955


                ’’ Yen sube ye mekenyung, usak bayun tiyange, liu nak luh bajang ipidan buduh ajak ye. Aget titiang ane makatang kenyung ne ento ’’(kalau  dia tersenyum hati saya luluh berantakan, banyak wanita tergoda dengan senyuman mautnya. Beruntung saya yang mendapatkan senyuman maut itu ) ujar dadong paku dengan terharu sambil memperlihatkan foto suaminya yang gagah itu.

                Pertemuan kisah cinta antara pekak paku dan dadong Paku yang sudah terjalin sejak tahun 1942, membuat kesenian janger lestari hingga kini. Kecintaan mereka terhadap seni janger di banjar Pegok Sesetan telah memicu gelora berkesenian generasi muda pecinta janger di daerah asalnya.  Ini terbukti dari setiap tahun diadakan pertunjukan Janger Pegok dalam odalan  Purnama Kapat di Pura Kesuma Sari Banjar Pegok Sesetan Denpasar.  Pada tahun 1991 beliau mendapat apresiasi seni dari pemerintah kotamadya Denpasar sebagai seniman tua kategori seniman janger.


Upacara Ngaben

                Pada hari Senin tanggal 16 februari 2015 pukul 12.00 ratusan pelayat mengantarkan Pekak Paku ke kuburan desa Sesetan yang berjarak 2 km.   Suara musik bleganjur mengiringi jenazah  yang diletakan diatas ‘’Wadah/Bale’’ yaitu rumah-rumahan style Bali dengan ukiran dari kertas warna keemasan. Bleganjur ini dimainkan oleh Sanggar Sunari Sesetan dibawah pimpinan Putu Wijaya Mahendra.  Bleganjur ini menghentak dinamis sebagai penggelora semangat kembali, agar pihak keluarga mengiklaskan kepergian tanpa ada rasa kesedihan lagi.

                Sementara itu dalam upacara ngaben/pembakaran jenazah, alunan sendu gamelan angklung dari Delod Tukad Sesetan pimpinan Bli Lembat ikut menghaluskan suasana bathin pihak keluarga menjadi tenang dan khidmat.  Pihak keluarga sangat terharu dan berterimakasih kepada seluruh masyarakat Pegok serta pelayat lainnya yang turut berbelangsungkawa melepas kepergian Pekak Paku. Setelah pembakaran yang berlangsung selama 2 jam,  abu jenazah tersebut ditaburkan ke laut Pesanggaran dekat Pelabuhan Benoa.  

                Upacara ngaben ini merupakan bagian dari upacara pitra yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh leluhur. Makna upacara ngaben pada intinya adalah untuk melepaskan sang atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat menyatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmananm).






Seni membuat beliau tenang

                Bagi para seniman, keahlian seni adalah sebuah anugrah.  Seni apapun bentuk dan jenisnya yang sudah terpatri didalam hati, jika dimanfaatkan secara positif akan memberi arti dalam kelangsungan kehidupannya. Seni membuat kita terhibur, tenang, damai serta  awet muda. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh I Wayan Randug/Pekak Paku, disaat umurnya mencapai 89 tahun dia tetap berusaha menggerakkan tangannya menari kecak dan janger  sebelum ajal menjemputnya.  Beliaupun tenang dan damai pergi ke dunia lain.  Kedamaian dan ketenangan bathin itu diperoleh berkat rasa sosial yang tinggi kepada siapapun,  kegigihan melestarikan seni janger serta kesetiaannya terhadap istrinya Ni Wayan Kondri/Dadong Paku. Sambil mengusap airmata, Dadong Paku melantunkan lagu nostalgia janger pegok tahun 1937 untuk kepergian suaminya tercinta  :

Keliki gading sampyane ejang di buduk, Pepeloke di kaleran
Kawat Kelod Kawat Kelod kawat duduk di Tembau
Niki gending sami ban tityang manuduk, Ben beloge Mejangeran
Awak belog awak belog awak sigug tuare tahu.
 (ciptaan : Nak Pegok)

Jumat, 30 Januari 2015

Petualangan berkesenian di empat kota besar Eropa.

The Adventures of Ciaaattt :

Petualangan berkesenian di  empat  kota besar  Eropa.

Bila anda mengadakan perjalanan ke Eropa, hal paling utama yang harus diingat adalah ‘’waktu’’.  Di Eropa, menghargai waktu merupakan tradisi. Tradisi turun-temurun yang diwariskan  hingga kini.  Tradisi ini menjadi kebiasaan rutin yang terpatri dihati sanubari warganya. Kemana kita pergi, waktupun  menanti ! 

Ketika meninggalkan Bali menuju Belgia pada tahun 1996, saya menyadari bahwa waktu merupakan hal yang paling penting. Terbiasa dengan ’’waktu’’  membuat saya  mudah beradaptasi terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. 

Pada akhir November 2014 hingga awal Januari 2015, saya memperoleh kesempatan mengajar gamelan Bali di empat  kota besar di Eropa yaitu Barcelona, Den Haag, Koln dan  Paris.  Perjalanan ini saya sebut sebagai Petualangan Ciaaattt (The Adventures of Ciaaattt).  Ciaaattt adalah slogan semangat, dimana sewaktu kecil saya pernah ikut bermain pencak silat. Ucapan tersebut selalu mengingatkan saya dimanapun berada.  Khusus untuk saya sendiri, Ciaaattt bermakna ekspresi semangat dalam aksi berkesenian. Di facebook, twitter serta youtube saya selalu  menggunakan Ciaaattt. Tujuannya hanya satu, ingin tetap berkesenian dimanapun berada. (https://www.youtube.com/user/agusbelgique)




Saya tinggal di kota Brussel - Belgia, ibukota Uni Eropa terletak strategis berdekatan dengan kota besar Eropa lainnya. Dalam petualangan ini,  saya berusaha menyusun rencana perjalanan (itinerary), mengurutkan waktu secara kronologis,  praktis,  lengkap dengan lokasi, obyek wisata,  akomodasi,  transportasi serta menyelipkan suling Bali kesayangan saya.


Barcelona, kota cantik berparas unik

            Pada tgl 28 November 2014, saya melakukan perjalanan ke Barcelona. Penerbangan dari Bandara Internasional Zaventem Brussel menuju bandara Barcelona ditempuh dengan cepat hanya 1,5 jam.  Cuaca saat itu kurang bersahabat, beberapa kali pesawat terguncang turbulence. Penumpang pesawat ‘’cerewet’’ dengan bahasa mereka masing-masing, ada yang berbahasa Perancis, Inggris, Belanda, Spanyol dan serentak bersorak horeee..! Karena pesawat mendarat mulus di Bandara Barcelona tepat  pukul 11.00. Penerbangan ini menggunakan pesawat Ryanair, Irlandia.  Tiket paket hemat seharga 111,74 euro (92 euro harga promo + optional fee )
Selama 5 hari berada di Barcelona dari tgl 28 November - 2 Desember 2014, saya membagi waktu dengan ekstra ketat. 3 hari untuk workshop dan 2 hari untuk jalan-jalan. Workshop gamelan Bali  dilakukan di Museum ‘’Museu de la Música’’  yang berjarak  200 meter dari Torre Agbar, sebuah bangunan tinggi berlantai 38 berbentuk mentimun milik perusahaan Water treatment, Aigues de Barcelona.


Workshop gamelan ini diikuti oleh 18 orang penabuh/pemusik multinasional berasal dari Spanyol, Irlandia, Perancis,  Italia, Panama, Jepang dan Rumania. Grup ini disebut Gamelan  Panempaan Guntur  yang didirikan  bulan September 2013 oleh Jordi Casadevall (37 tahun), warga Katalan, Barcelona.  Mereka dengan serius mempraktekan tekhnik gamelan Bali seperti ngotek, norot, nyogcag dan ngempat dengan total waktu 20 jam. Tekhnik ini sengaja diberikan sebagai dasar-dasar kuat untuk meningkatkan kemampuan bermain gamelan Bali. Gending Bali yang dipelajari diantaranya gilak baris, hujan mas, tabuh telu sekar gadung serta Kégibi (Kotekan Gamelan Bali).
Keseriusan selama 3 hari, saya segarkan kembali selama 2 hari dengan mengunjungi obyek wisata seperti masterpieces arsitek hebat Antonio Gaudi  diantaranya ; La Sagrada Familia, Casa Batllo, Casa Mila (La Pedera).  Saya terpesona  dengan kecantikan dan keunikan karya Gaudi itu. Kemudian Las Ramblas yaitu  jalan panjang 1,2 km terbentang dari Plaça de Catalunya menuju  patung penjelajah legenda Christopher Columbus. Banyak  hal kita bisa temui di  La Ramblas ;  bar, restoran, toko souvenir berderet menjajakan kaos  bintang sepakbola Barca ‘’Messi’’ dengan harga antara 29 – 35 euro. Tentunya tidak ketinggalan membesuk Camp Nou Stadium, sebuah simbul sportivitas dan kebanggaan warga katalan terhadap club sepakbola Barcelona yang kesohor itu.




Koln, kota tua yang bergairah

        Dari stasiun Brussel Midi  menuju stasiun  Köln Hauptbahnhof waktu tempuh perjalanan hanya 1,47 jam menggunakan  kereta api high-speed Thalys. Tiket tarif  semi flex (gratis wifi) seharga 86 euro pp. Pagi itu, hari Sabtu, 6 Desember 2014 pukul 08.15 udara sangat dingin disertai hujan rintik-rintik. Saya  melangkah menuju Kölner Dom yang berjarak persis dibelakang stasiun. Walaupun telah beberapa kali mengunjungi kota ini, saya tetap saja terpikat dengan Kölner Dom.
       
Pada Perang Dunia II,   kota Koln hancur lebur berantakan hampir 72 %. Bangunan yang tersisa hanya Kölner Dom, sebuah gereja gothic peninggalan abad 18 yang berdiri megah dengan tinggi 157,38 m. Kölner Dom merupakan sebuah peninggalan sejarah kota menjadi ikon unik kebanggaan warga setempat. Beruntung wajah kota tua ini masih tersisa apik, berkat ketulusan warganya menjaga dan melestarikan keunikannya.  Wajah kota tua itu bukanlah menggambarkan kerentaan, melainkan simbol gairah untuk menginspirasi kaum muda dengan harapan kejadian buruk di masa lalu tak terulang kembali.





        Selang beberapa saat kemudian, saya dihampiri  Nyoman Suyadni, pemilik sanggar seni Bali Puspa yang mengundang saya dalam rangka pelatihan gamelan Bali selama 2 hari. Bersama suaminya Ralf Mindhoff, Nyoman mendirikan sanggar Bali Puspa pada tahun 1995 yang beranggotakan warga Jerman dan Indonesia. Dalam pelatihan ini, saya mengajarkan materi seni Legong keraton. Legong adalah sebuah tarian klasik Bali dengan gerakan yang kompleks, terikat oleh pakem tabuh pengiring yaitu gamelan Bali. Antara gerak tari dan aksen (angsel) gamelan saling menyentuh satu sama lain sehingga menyatu dalam penampilan. Tingginya kesulitan tekhnik gamelan Bali ini, menjadi penyebab utama keterlambatan menguasai gending-gending legong tersebut. Namun demikian, kemauan dan niat yang besar ditambah gairah tekad membaja pada akhirnya mereka berhasil menguasai  tekhnik gamelan Bali yang dikenal cepat dan berenergi. 


Den Haag, kota akrab bermakna sahabat.
Menjalin persahabatan kepada siapa saja mutlak kita perlukan. Bersahabat sambil  membangun networking sangat menunjang kelancaran apa yang ingin kita raih. Berkat persahabatan pula saya memperoleh kesempatan mempertunjukan kesenian Bali di Den Haag, Belanda.  Sebut saja Winternachtel Festival, Tong Tong Festival, Pasar Malam Indonesia (PMI), Workshop kecak di American School of The Hague, Konser Visit Indonesian Year 2008 serta Gamelan dan Kecak dalam Perayaan Galungan Kuningan. Semua itu menambah lengkap daftar pertunjukan yang saya lakukan di kota Den Haag.
            Pada hari Sabtu tanggal 13 Desember 2014, dari stasiun Brussel Central saya tiba tepat pukul 10.30  di stasiun Den Haag Central.  Perjalanan tsb ditempuh selama 2,5 jam dengan train IC (intercity). Tiket seharga 40 euro pp. Hari itu adalah jadwal latihan rutin bulanan  mengajarkan gamelan untuk komunitas Bali ‘’Banjar Suka Duka Belanda’’  di KBRI Den Haag.  Materi seni yang dipelajari diantaranya tabuh gilak, sekar rare  ongkek ongkir, gending merah putih, pendet, baris serta musik prosesi Bleganjur.  
Penabuh gamelan ini  berjumlah 30 orang,  90% adalah wanita. Mereka sungguh luar biasa.  Kenapa ?  Satu, karena mereka wanita. Kedua, karena mereka tidak melupakan budaya dan identitasnya. Ketiga, semangatnya menggelora. Padahal kesibukan dengan keluarga, pekerjaan dan  waktu menjadi hambatan utama bagi mereka. Syukurlah, mereka tulus  menyisihkan waktu untuk menjaga dan melestarikan budayanya.
            Kota Den Haag terkenal dengan sebutan kota pemerintahan. Dari sudut pandang berkesenian, Den Haag adalah  kota akrab bermakna sahabat. Saya tidak akan pernah lupa bahwa berkat kota ini pula saya mengenal para sahabat seni yang memberikan ruang, waktu dan tempat untuk saya berkesenian di negeri Belanda.




Paris, Jauh dimata dekat di hati.

          Jarak antara kota Brussel dengan kota Paris adalah 300 km. Mengendarai mobil ditempuh dengan waktu 3,5 jam non-stop sedangkan  menggunakan kereta api Thalys hanya 1,22 jam.  Tiket Thalys tarif semi flex seharga 118 euro pp.  Saya memilih Thalys karena lebih praktis, cepat dan efisien daripada mengendarai  mobil.  

            Hari itu, Jumat 9 Januari 2015  pukul 16.15 saya tiba di Stasiun Gare du Nord Paris. Dengan perasaan was-was dan khawatir terhadap suasana Paris yang mencekam pasca penembakan di kantor koran satir Charlie Hebdo. Berkali-kali saya memantau informasi lewat media tentang situasi update kejadian tersebut. Persis hari itu juga, Polisi Perancis mengerahkan pasukan khusus untuk mengejar pelaku penembakan.  Pada malam itu juga, pelaku penembakan berhasil dilumpuhkan. Ketegangan demi ketegangan terlihat mencekam diberbagai media massa. Breaking News hampir disemua stasiun televisi. Berbeda dengan pengamatan saya dilapangan  bahwa masyarakat Paris merespon dengan tenang dan biasa saja melakukan aktifitas.

            Setelah beberapa saat menunggu, Hsiao dan Theo warga Taiwan dan Perancis anggota  grup Puspa Warna gamelan Bali dari Paris datang menjemput. Bersama mereka saya menaiki metro (kereta bawah tanah) menuju menara Eiffel.  Seperti turis pada umumnya,  berfoto sejenak diatas Place du Trocadéro, sambil memandang menara Eiffel dari jarak 200 meter.  Sesekali termenung dan bersyukur karena sudah hampir 10 kali ke Paris, hati saya selalu tergoda dihadapan menara Eiffel.


            Tiba saatnya, saya mengajar gamelan Bali  di ruang kesenian KBRI Paris.  Sekitar 18 orang penabuh warga perancis secara tekun berlatih beberapa gending tari barong, kebyar duduk, topeng Bondres, baris selama 2 hari. Dalam agenda pertunjukan, grup Puspa warna akan menggelar pertunjukan gamelan dan tari Bali yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 – 13 Maret 2015 di Paris, Perancis.





Sabtu, 17 Januari 2015

Menebar Seni Nusantara di Kota Versailles, Perancis

Menebar Seni Nusantara di Kota Versailles, Perancis

‘’ Dalam sebuah pertunjukan, derap langkah menghentak, suara ‘’byuk sirrr ‘’ serentak bergema. Energi kuat merasuk jiwa, suara vokal cak-cak-cak ritmis berdaya magis. Ekspresi wajah sumringah, jari lentik bergetar terhembus angin dengan desahan panjang …ssssssssss………tiba-tiba Putu Anggawati seorang penari kecak berumur 60 tahun berteriak ; Tiiiiii...! artinya berhenti.  Penonton terdiam, serius menyaksikan babak demi babak penampilan kecak Ramayana yang diperankan oleh Ibu- Ibu Indonesia dengan gigih dan bersemangat dalam acara Spectacle de danse Indonesie di Versailles, 30 km dari Paris pada hari Minggu, 11 Januari 2015.





Hanya satu kata, hebat ! Siapa menyangka 35 orang Ibu-Ibu Indonesia yang sudah menetap hampir 30 tahun di Perancis sanggup mempertunjukan kecak Bali berlakon Ramayana, yang biasanya ditarikan oleh kaum laki-laki. Ibu-ibu ini berasal dari Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan dll.  Menyatu kuat dalam kebhinekaan nusantara. Mereka berhasil karena semangat berlatih, niat dan kemauan  yang sungguh-sungguh. Tidak itu saja, mereka ingin membuktikan bahwa keberadaan mereka selama puluhan tahun di negeri orang,  harus tetap setia mencintai budaya nusantara yang dikagumi dunia. ‘’ Budaya kita sarat akan nilai-nilai toleransi dan kebersamaan, nilai ini kita petik dan  tumbuhkan kembali.  Kita pengaruhi warga eropa dengan toleransi budaya  yang kita miliki. Maka dari itu, tidak ada kata terlambat untuk mempelajari  budaya kita, kapan saja dan dimana saja, ‘’ ujar Putu Anggawati pimpinan grup kecak Sekar Jagat Indonesia (SJI) tersebut.

Disamping pertunjukan kecak, SJI juga menampilkan beraneka ragam tarian nusantara diantaranya Tari Tor-Tor Batak, Yapong Jakarta,  Bajidor Kahot Jawa Barat, Prosesi Banten Sokasi, Sekar Jagat, Rejang, Belibis, Janger dan Ciaaattt Suling Bali. Penampilan berturut-turut selama 1, 5 jam tersebut mendapat sambutan hangat dari publik Perancis yang berjumlah seratus orang.

Kegiatan bertema solidaritas ini merupakan pertunjukan amal  yang diselenggarakan oleh organisasi sosial Solidarites Nouvelles pour Logement (SNL) Perancis. Organisasi ini membantu menyediakan rumah sosial kepada warga kurang mampu  berupa apartemen atau rumah layak huni dengan harga terjangkau. Warga kurang mampu tesebut kebanyakan adalah penduduk asing yang berimigran ke Perancis. Menurut pihak penyelenggara Madame Helene, bahwa SNL telah melayani  7300 warga tak mampu dengan jumlah 1000 tempat tinggal yang tersebar  di daerah l’lle de France.  Atas undangan Soildarites Nouveles pour Logement inilah SJI berinisitif membantu secara iklas kegiatan ini dengan menampilkan seni budaya Indonesia, dimana hasil daripada amal tersebut diberikan kepada organisasi sosial tersebut.

Sekar Jagat Indonesia (SJI) yang beranggotakan sebanyak 55 orang didirikan pada bulan Juni 2011 dengan status diakui pemerintah Perancis sebagai organisasi nirlaba atau non profit. Berbekal semangat dan ingin mempererat hubungan antar sesama orang Indonesia, menebarkan budaya nusantara serta mecintai budaya tanah air adalah misi utama organsasi ini.  Gayung bersambut dari Perwakilan Indonesia di Paris, KBRI Paris






mendukung kegiatan SJI ini dengan memberikan faisilitas ruangan untuk melakukan latihan secara reguler beberapa kali sebulan. KBRI Paris juga memberikan kesempatan kepada SJI untuk mempromosikan budaya Indonesia di beberapa tempat di Perancis seperti di pusat kota Paris, Bretagne (wilayah Barat Perancis), Université du Havre - Le Havre, Montigny, dll. Sedangkan di luar Perancis SJI juga melebarkan sayapnya ke negara tetangganya yaitu Belgia, dengan menampilkan kecak di Taman Pairi Daiza Brugelette Belgia pada tahun 2014 lalu.


Ni Putu Anggawati
Keaktifan SJI ini tidak terlepas dari pimpinannya  yang dengan gigih mempertahankan budaya Indonesia di luar Negeri. Sesosok ibu yang sederhana, sabar, ulet dan mantan pemandu wisata PACTO’s Tour & travel di Bali. Telah menetap sejak tahun 1981 di Perancis serta menjadi wanita Bali pertama yang menjelajahi Perancis selama bertahun tahun. Putu lahir di Banjar Delod Peken Tabanan Bali pada tahun 1954. Sekarang ini  tinggal  bersama suami tersayang Thierry Sautelet warga Perancis dan  dikarunia dua putra yaitu Christian dan Andrien yang sudah beranjak dewasa. Putu mendirikan SJI dengan susah payah yang pada awalnya beranggotakan beberapa orang saja. Selanjutnya dengan motivasi serta materi seni yang bervariasi, Putu berhasil menarik dan menyatukan warga Indonesia untuk ikut belajar dan mempertunjukan kesenian nusantara. Jumlah awal anggota  11 orang bertambah besar  menjadi 55 orang pada tahun ini.



Putu Anggawati

Mencintai Budaya Sendiri
Banyak diantara kita sudah melupakan kecintaan akan budaya sendiri. Terlebih lagi, mudahnya budaya asing diminati kalangan muda di Indonesia. Kitapun tidak berdaya dibuatnya. Sah-sah saja, budaya asing diapresiasi karena ada diantaranya memberikan warna baru dalam akulturasi budaya kita. Sebaliknya, warga asing berlomba-lomba mempelajari dengan serius sehingga mereka tidak saja mampu mempertunjukan tetapi mengambil inti sari nilai-nilai budaya kita. Mereka perdebatkan, didiskusikan, dipahami sehingga mereka juga mencintai  Indonesia.

  Tinggal di luar negeri sambil mempertunjukan budaya nusantara berbeda jika kita  tinggal di negeri sendiri.  Kerinduan akan kampung halaman sangat  besar.  Keberanian menampilkan diri diatas panggung mengangkat rasa percaya diri. Tumbuhlah rasa persaudaraan diantara sesama warga Indonesia karena sering bertemu. Ini membawa signal positif terhadap kehidupan kita di negeri orang. Dengan kata lain, marilah kita sayangi budaya kita sendiri, kita pelajari, kita tebarkan, kita lestarikan seperti apa yang telah dilakukan oleh Ibu-Ibu Indonesia Sekar Jagat Indonesia Perancis yang gigih dan kuat ini. Terimakasih SJI.

di muat di metro bali : 
http://metrobali.com/2015/01/17/menebar-seni-nusantara-di-kota-versailles-perancis/

di Kompas.com :
http://travel.kompas.com/read/2015/01/18/115200027/Menebar.Seni.Nusantara.di.Kota.Versailles.Perancis