Jumat, 30 Januari 2015

Petualangan berkesenian di empat kota besar Eropa.

The Adventures of Ciaaattt :

Petualangan berkesenian di  empat  kota besar  Eropa.

Bila anda mengadakan perjalanan ke Eropa, hal paling utama yang harus diingat adalah ‘’waktu’’.  Di Eropa, menghargai waktu merupakan tradisi. Tradisi turun-temurun yang diwariskan  hingga kini.  Tradisi ini menjadi kebiasaan rutin yang terpatri dihati sanubari warganya. Kemana kita pergi, waktupun  menanti ! 

Ketika meninggalkan Bali menuju Belgia pada tahun 1996, saya menyadari bahwa waktu merupakan hal yang paling penting. Terbiasa dengan ’’waktu’’  membuat saya  mudah beradaptasi terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. 

Pada akhir November 2014 hingga awal Januari 2015, saya memperoleh kesempatan mengajar gamelan Bali di empat  kota besar di Eropa yaitu Barcelona, Den Haag, Koln dan  Paris.  Perjalanan ini saya sebut sebagai Petualangan Ciaaattt (The Adventures of Ciaaattt).  Ciaaattt adalah slogan semangat, dimana sewaktu kecil saya pernah ikut bermain pencak silat. Ucapan tersebut selalu mengingatkan saya dimanapun berada.  Khusus untuk saya sendiri, Ciaaattt bermakna ekspresi semangat dalam aksi berkesenian. Di facebook, twitter serta youtube saya selalu  menggunakan Ciaaattt. Tujuannya hanya satu, ingin tetap berkesenian dimanapun berada. (https://www.youtube.com/user/agusbelgique)




Saya tinggal di kota Brussel - Belgia, ibukota Uni Eropa terletak strategis berdekatan dengan kota besar Eropa lainnya. Dalam petualangan ini,  saya berusaha menyusun rencana perjalanan (itinerary), mengurutkan waktu secara kronologis,  praktis,  lengkap dengan lokasi, obyek wisata,  akomodasi,  transportasi serta menyelipkan suling Bali kesayangan saya.


Barcelona, kota cantik berparas unik

            Pada tgl 28 November 2014, saya melakukan perjalanan ke Barcelona. Penerbangan dari Bandara Internasional Zaventem Brussel menuju bandara Barcelona ditempuh dengan cepat hanya 1,5 jam.  Cuaca saat itu kurang bersahabat, beberapa kali pesawat terguncang turbulence. Penumpang pesawat ‘’cerewet’’ dengan bahasa mereka masing-masing, ada yang berbahasa Perancis, Inggris, Belanda, Spanyol dan serentak bersorak horeee..! Karena pesawat mendarat mulus di Bandara Barcelona tepat  pukul 11.00. Penerbangan ini menggunakan pesawat Ryanair, Irlandia.  Tiket paket hemat seharga 111,74 euro (92 euro harga promo + optional fee )
Selama 5 hari berada di Barcelona dari tgl 28 November - 2 Desember 2014, saya membagi waktu dengan ekstra ketat. 3 hari untuk workshop dan 2 hari untuk jalan-jalan. Workshop gamelan Bali  dilakukan di Museum ‘’Museu de la Música’’  yang berjarak  200 meter dari Torre Agbar, sebuah bangunan tinggi berlantai 38 berbentuk mentimun milik perusahaan Water treatment, Aigues de Barcelona.


Workshop gamelan ini diikuti oleh 18 orang penabuh/pemusik multinasional berasal dari Spanyol, Irlandia, Perancis,  Italia, Panama, Jepang dan Rumania. Grup ini disebut Gamelan  Panempaan Guntur  yang didirikan  bulan September 2013 oleh Jordi Casadevall (37 tahun), warga Katalan, Barcelona.  Mereka dengan serius mempraktekan tekhnik gamelan Bali seperti ngotek, norot, nyogcag dan ngempat dengan total waktu 20 jam. Tekhnik ini sengaja diberikan sebagai dasar-dasar kuat untuk meningkatkan kemampuan bermain gamelan Bali. Gending Bali yang dipelajari diantaranya gilak baris, hujan mas, tabuh telu sekar gadung serta Kégibi (Kotekan Gamelan Bali).
Keseriusan selama 3 hari, saya segarkan kembali selama 2 hari dengan mengunjungi obyek wisata seperti masterpieces arsitek hebat Antonio Gaudi  diantaranya ; La Sagrada Familia, Casa Batllo, Casa Mila (La Pedera).  Saya terpesona  dengan kecantikan dan keunikan karya Gaudi itu. Kemudian Las Ramblas yaitu  jalan panjang 1,2 km terbentang dari Plaça de Catalunya menuju  patung penjelajah legenda Christopher Columbus. Banyak  hal kita bisa temui di  La Ramblas ;  bar, restoran, toko souvenir berderet menjajakan kaos  bintang sepakbola Barca ‘’Messi’’ dengan harga antara 29 – 35 euro. Tentunya tidak ketinggalan membesuk Camp Nou Stadium, sebuah simbul sportivitas dan kebanggaan warga katalan terhadap club sepakbola Barcelona yang kesohor itu.




Koln, kota tua yang bergairah

        Dari stasiun Brussel Midi  menuju stasiun  Köln Hauptbahnhof waktu tempuh perjalanan hanya 1,47 jam menggunakan  kereta api high-speed Thalys. Tiket tarif  semi flex (gratis wifi) seharga 86 euro pp. Pagi itu, hari Sabtu, 6 Desember 2014 pukul 08.15 udara sangat dingin disertai hujan rintik-rintik. Saya  melangkah menuju Kölner Dom yang berjarak persis dibelakang stasiun. Walaupun telah beberapa kali mengunjungi kota ini, saya tetap saja terpikat dengan Kölner Dom.
       
Pada Perang Dunia II,   kota Koln hancur lebur berantakan hampir 72 %. Bangunan yang tersisa hanya Kölner Dom, sebuah gereja gothic peninggalan abad 18 yang berdiri megah dengan tinggi 157,38 m. Kölner Dom merupakan sebuah peninggalan sejarah kota menjadi ikon unik kebanggaan warga setempat. Beruntung wajah kota tua ini masih tersisa apik, berkat ketulusan warganya menjaga dan melestarikan keunikannya.  Wajah kota tua itu bukanlah menggambarkan kerentaan, melainkan simbol gairah untuk menginspirasi kaum muda dengan harapan kejadian buruk di masa lalu tak terulang kembali.





        Selang beberapa saat kemudian, saya dihampiri  Nyoman Suyadni, pemilik sanggar seni Bali Puspa yang mengundang saya dalam rangka pelatihan gamelan Bali selama 2 hari. Bersama suaminya Ralf Mindhoff, Nyoman mendirikan sanggar Bali Puspa pada tahun 1995 yang beranggotakan warga Jerman dan Indonesia. Dalam pelatihan ini, saya mengajarkan materi seni Legong keraton. Legong adalah sebuah tarian klasik Bali dengan gerakan yang kompleks, terikat oleh pakem tabuh pengiring yaitu gamelan Bali. Antara gerak tari dan aksen (angsel) gamelan saling menyentuh satu sama lain sehingga menyatu dalam penampilan. Tingginya kesulitan tekhnik gamelan Bali ini, menjadi penyebab utama keterlambatan menguasai gending-gending legong tersebut. Namun demikian, kemauan dan niat yang besar ditambah gairah tekad membaja pada akhirnya mereka berhasil menguasai  tekhnik gamelan Bali yang dikenal cepat dan berenergi. 


Den Haag, kota akrab bermakna sahabat.
Menjalin persahabatan kepada siapa saja mutlak kita perlukan. Bersahabat sambil  membangun networking sangat menunjang kelancaran apa yang ingin kita raih. Berkat persahabatan pula saya memperoleh kesempatan mempertunjukan kesenian Bali di Den Haag, Belanda.  Sebut saja Winternachtel Festival, Tong Tong Festival, Pasar Malam Indonesia (PMI), Workshop kecak di American School of The Hague, Konser Visit Indonesian Year 2008 serta Gamelan dan Kecak dalam Perayaan Galungan Kuningan. Semua itu menambah lengkap daftar pertunjukan yang saya lakukan di kota Den Haag.
            Pada hari Sabtu tanggal 13 Desember 2014, dari stasiun Brussel Central saya tiba tepat pukul 10.30  di stasiun Den Haag Central.  Perjalanan tsb ditempuh selama 2,5 jam dengan train IC (intercity). Tiket seharga 40 euro pp. Hari itu adalah jadwal latihan rutin bulanan  mengajarkan gamelan untuk komunitas Bali ‘’Banjar Suka Duka Belanda’’  di KBRI Den Haag.  Materi seni yang dipelajari diantaranya tabuh gilak, sekar rare  ongkek ongkir, gending merah putih, pendet, baris serta musik prosesi Bleganjur.  
Penabuh gamelan ini  berjumlah 30 orang,  90% adalah wanita. Mereka sungguh luar biasa.  Kenapa ?  Satu, karena mereka wanita. Kedua, karena mereka tidak melupakan budaya dan identitasnya. Ketiga, semangatnya menggelora. Padahal kesibukan dengan keluarga, pekerjaan dan  waktu menjadi hambatan utama bagi mereka. Syukurlah, mereka tulus  menyisihkan waktu untuk menjaga dan melestarikan budayanya.
            Kota Den Haag terkenal dengan sebutan kota pemerintahan. Dari sudut pandang berkesenian, Den Haag adalah  kota akrab bermakna sahabat. Saya tidak akan pernah lupa bahwa berkat kota ini pula saya mengenal para sahabat seni yang memberikan ruang, waktu dan tempat untuk saya berkesenian di negeri Belanda.




Paris, Jauh dimata dekat di hati.

          Jarak antara kota Brussel dengan kota Paris adalah 300 km. Mengendarai mobil ditempuh dengan waktu 3,5 jam non-stop sedangkan  menggunakan kereta api Thalys hanya 1,22 jam.  Tiket Thalys tarif semi flex seharga 118 euro pp.  Saya memilih Thalys karena lebih praktis, cepat dan efisien daripada mengendarai  mobil.  

            Hari itu, Jumat 9 Januari 2015  pukul 16.15 saya tiba di Stasiun Gare du Nord Paris. Dengan perasaan was-was dan khawatir terhadap suasana Paris yang mencekam pasca penembakan di kantor koran satir Charlie Hebdo. Berkali-kali saya memantau informasi lewat media tentang situasi update kejadian tersebut. Persis hari itu juga, Polisi Perancis mengerahkan pasukan khusus untuk mengejar pelaku penembakan.  Pada malam itu juga, pelaku penembakan berhasil dilumpuhkan. Ketegangan demi ketegangan terlihat mencekam diberbagai media massa. Breaking News hampir disemua stasiun televisi. Berbeda dengan pengamatan saya dilapangan  bahwa masyarakat Paris merespon dengan tenang dan biasa saja melakukan aktifitas.

            Setelah beberapa saat menunggu, Hsiao dan Theo warga Taiwan dan Perancis anggota  grup Puspa Warna gamelan Bali dari Paris datang menjemput. Bersama mereka saya menaiki metro (kereta bawah tanah) menuju menara Eiffel.  Seperti turis pada umumnya,  berfoto sejenak diatas Place du Trocadéro, sambil memandang menara Eiffel dari jarak 200 meter.  Sesekali termenung dan bersyukur karena sudah hampir 10 kali ke Paris, hati saya selalu tergoda dihadapan menara Eiffel.


            Tiba saatnya, saya mengajar gamelan Bali  di ruang kesenian KBRI Paris.  Sekitar 18 orang penabuh warga perancis secara tekun berlatih beberapa gending tari barong, kebyar duduk, topeng Bondres, baris selama 2 hari. Dalam agenda pertunjukan, grup Puspa warna akan menggelar pertunjukan gamelan dan tari Bali yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 – 13 Maret 2015 di Paris, Perancis.





2 komentar: