The Adventures
of Ciaaattt :
Petualangan berkesenian di
empat kota besar Eropa.
Bila anda mengadakan perjalanan ke
Eropa, hal paling utama yang harus diingat adalah ‘’waktu’’. Di Eropa, menghargai waktu merupakan tradisi.
Tradisi turun-temurun yang diwariskan
hingga kini. Tradisi ini menjadi
kebiasaan rutin yang terpatri dihati sanubari warganya. Kemana kita pergi,
waktupun menanti !
Ketika meninggalkan Bali menuju
Belgia pada tahun 1996, saya menyadari bahwa waktu merupakan hal yang paling
penting. Terbiasa dengan ’’waktu’’ membuat saya
mudah beradaptasi terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.
Pada akhir November 2014 hingga awal
Januari 2015, saya memperoleh kesempatan mengajar gamelan Bali di empat kota besar di Eropa yaitu Barcelona, Den
Haag, Koln dan Paris. Perjalanan ini saya sebut sebagai Petualangan
Ciaaattt (The Adventures of Ciaaattt).
Ciaaattt adalah slogan
semangat, dimana sewaktu kecil saya pernah ikut bermain pencak silat. Ucapan
tersebut selalu mengingatkan saya dimanapun berada. Khusus untuk saya sendiri, Ciaaattt bermakna
ekspresi semangat dalam aksi berkesenian. Di facebook, twitter serta youtube
saya selalu menggunakan Ciaaattt. Tujuannya hanya satu, ingin
tetap berkesenian dimanapun berada. (https://www.youtube.com/user/agusbelgique)
Saya tinggal di kota Brussel - Belgia, ibukota Uni
Eropa terletak strategis berdekatan dengan kota besar Eropa lainnya. Dalam
petualangan ini, saya berusaha menyusun
rencana perjalanan (itinerary), mengurutkan
waktu secara kronologis, praktis, lengkap dengan lokasi, obyek wisata, akomodasi,
transportasi serta menyelipkan suling Bali kesayangan saya.
Barcelona, kota cantik berparas unik
Pada tgl 28 November 2014, saya melakukan perjalanan
ke Barcelona. Penerbangan dari Bandara Internasional Zaventem Brussel menuju bandara
Barcelona ditempuh dengan cepat hanya 1,5 jam.
Cuaca saat itu kurang bersahabat, beberapa kali pesawat terguncang turbulence. Penumpang pesawat
‘’cerewet’’ dengan bahasa mereka masing-masing, ada yang berbahasa Perancis,
Inggris, Belanda, Spanyol dan serentak bersorak horeee..! Karena pesawat
mendarat mulus di Bandara Barcelona tepat pukul 11.00. Penerbangan ini menggunakan pesawat
Ryanair, Irlandia. Tiket paket hemat seharga 111,74 euro (92 euro
harga promo + optional fee )
Selama 5 hari berada di Barcelona
dari tgl 28 November - 2 Desember 2014, saya membagi waktu dengan ekstra ketat.
3 hari untuk workshop dan 2 hari untuk jalan-jalan. Workshop gamelan Bali dilakukan di Museum ‘’Museu de la Música’’ yang
berjarak 200 meter dari Torre Agbar, sebuah bangunan tinggi
berlantai 38 berbentuk mentimun milik perusahaan Water treatment, Aigues de Barcelona.
Workshop gamelan ini diikuti oleh 18
orang penabuh/pemusik multinasional berasal dari Spanyol, Irlandia, Perancis, Italia, Panama,
Jepang dan Rumania. Grup ini disebut Gamelan Panempaan Guntur yang didirikan bulan September 2013 oleh Jordi Casadevall
(37 tahun), warga Katalan, Barcelona.
Mereka dengan serius mempraktekan tekhnik gamelan Bali seperti ngotek, norot, nyogcag dan ngempat dengan total waktu 20 jam.
Tekhnik ini sengaja diberikan sebagai dasar-dasar kuat untuk meningkatkan
kemampuan bermain gamelan Bali. Gending Bali yang dipelajari diantaranya gilak
baris, hujan mas, tabuh telu sekar gadung serta Kégibi (Kotekan Gamelan Bali).
Keseriusan selama 3 hari, saya
segarkan kembali selama 2 hari dengan mengunjungi obyek wisata seperti masterpieces arsitek hebat Antonio
Gaudi diantaranya ; La Sagrada Familia, Casa Batllo, Casa Mila (La Pedera). Saya terpesona dengan kecantikan dan keunikan karya Gaudi
itu. Kemudian Las Ramblas yaitu jalan panjang 1,2 km terbentang dari Plaça de Catalunya menuju patung penjelajah legenda
Christopher Columbus. Banyak hal kita bisa temui di La Ramblas ;
bar,
restoran, toko souvenir berderet menjajakan kaos bintang sepakbola Barca ‘’Messi’’ dengan
harga antara 29 – 35 euro. Tentunya tidak ketinggalan membesuk Camp Nou
Stadium, sebuah simbul sportivitas dan kebanggaan warga katalan terhadap club
sepakbola Barcelona yang kesohor itu.
Koln,
kota tua yang bergairah
Dari stasiun Brussel Midi menuju stasiun Köln Hauptbahnhof waktu tempuh
perjalanan hanya 1,47 jam menggunakan kereta api high-speed Thalys. Tiket
tarif semi flex (gratis wifi) seharga 86
euro pp. Pagi itu, hari Sabtu, 6 Desember 2014 pukul 08.15 udara
sangat dingin disertai hujan rintik-rintik. Saya
melangkah menuju Kölner Dom yang
berjarak persis dibelakang stasiun. Walaupun telah beberapa kali mengunjungi
kota ini, saya tetap saja terpikat dengan Kölner Dom.
Pada
Perang Dunia II, kota Koln hancur lebur berantakan hampir 72 %. Bangunan yang
tersisa hanya Kölner Dom, sebuah
gereja gothic peninggalan abad 18 yang berdiri megah dengan
tinggi 157,38 m. Kölner Dom
merupakan sebuah peninggalan sejarah kota menjadi ikon unik kebanggaan warga
setempat. Beruntung wajah kota tua ini masih tersisa apik, berkat ketulusan
warganya menjaga dan melestarikan keunikannya. Wajah kota tua itu
bukanlah menggambarkan kerentaan, melainkan simbol gairah untuk menginspirasi
kaum muda dengan harapan kejadian buruk di masa lalu tak terulang kembali.
Selang beberapa saat kemudian, saya dihampiri Nyoman
Suyadni, pemilik sanggar seni Bali Puspa yang mengundang saya dalam rangka
pelatihan gamelan Bali selama 2 hari. Bersama suaminya Ralf Mindhoff, Nyoman
mendirikan sanggar Bali Puspa pada tahun 1995 yang beranggotakan warga Jerman
dan Indonesia. Dalam pelatihan ini, saya mengajarkan materi seni Legong
keraton. Legong adalah sebuah tarian klasik Bali dengan gerakan yang kompleks,
terikat oleh pakem tabuh pengiring yaitu gamelan Bali. Antara
gerak tari dan aksen (angsel) gamelan saling menyentuh satu
sama lain sehingga menyatu dalam penampilan. Tingginya kesulitan tekhnik
gamelan Bali ini, menjadi penyebab utama keterlambatan menguasai
gending-gending legong tersebut. Namun demikian, kemauan dan niat yang besar
ditambah gairah tekad membaja pada akhirnya mereka berhasil menguasai tekhnik gamelan Bali yang dikenal cepat dan
berenergi.
Den Haag, kota akrab bermakna sahabat.
Menjalin
persahabatan kepada siapa saja mutlak kita perlukan. Bersahabat sambil membangun networking sangat menunjang kelancaran
apa yang ingin kita raih. Berkat persahabatan pula saya memperoleh kesempatan
mempertunjukan kesenian Bali di Den Haag, Belanda. Sebut saja Winternachtel Festival, Tong Tong
Festival, Pasar Malam Indonesia (PMI), Workshop kecak di American School of The
Hague, Konser Visit Indonesian Year 2008
serta Gamelan dan Kecak dalam Perayaan Galungan Kuningan. Semua itu menambah
lengkap daftar pertunjukan yang saya lakukan di kota Den Haag.
Pada hari Sabtu tanggal
13 Desember 2014, dari stasiun Brussel
Central saya tiba tepat pukul 10.30
di stasiun Den Haag Central. Perjalanan tsb ditempuh selama 2,5 jam dengan
train IC (intercity). Tiket seharga 40 euro pp. Hari itu adalah jadwal latihan
rutin bulanan mengajarkan gamelan untuk
komunitas Bali ‘’Banjar Suka Duka
Belanda’’ di KBRI Den Haag. Materi seni yang dipelajari diantaranya tabuh
gilak, sekar rare ongkek ongkir, gending
merah putih, pendet, baris serta musik prosesi Bleganjur.
Penabuh gamelan ini berjumlah 30 orang, 90% adalah wanita. Mereka sungguh luar
biasa. Kenapa ? Satu, karena mereka wanita. Kedua, karena
mereka tidak melupakan budaya dan identitasnya. Ketiga, semangatnya menggelora.
Padahal kesibukan dengan keluarga, pekerjaan dan waktu menjadi hambatan utama bagi mereka.
Syukurlah, mereka tulus menyisihkan
waktu untuk menjaga dan melestarikan budayanya.
Kota Den Haag terkenal
dengan sebutan kota pemerintahan. Dari sudut pandang berkesenian, Den Haag
adalah kota akrab bermakna sahabat. Saya
tidak akan pernah lupa bahwa berkat kota ini pula saya mengenal para sahabat
seni yang memberikan ruang, waktu dan tempat untuk saya berkesenian di negeri Belanda.
Paris, Jauh dimata
dekat di hati.
Jarak
antara kota Brussel dengan kota Paris adalah 300 km. Mengendarai mobil ditempuh dengan waktu 3,5 jam non-stop sedangkan menggunakan kereta api Thalys hanya 1,22 jam. Tiket Thalys tarif semi flex seharga 118 euro pp. Saya memilih Thalys
karena lebih praktis, cepat dan efisien daripada mengendarai mobil.
Hari itu, Jumat 9 Januari
2015 pukul 16.15 saya tiba di Stasiun Gare du Nord Paris. Dengan perasaan was-was dan khawatir terhadap
suasana Paris yang mencekam pasca penembakan di kantor koran satir Charlie Hebdo.
Berkali-kali saya memantau informasi lewat media tentang situasi update kejadian tersebut. Persis hari
itu juga, Polisi Perancis mengerahkan pasukan khusus untuk mengejar pelaku
penembakan. Pada malam itu juga, pelaku
penembakan berhasil dilumpuhkan. Ketegangan demi ketegangan terlihat mencekam diberbagai
media massa. Breaking News hampir
disemua stasiun televisi. Berbeda dengan pengamatan saya dilapangan bahwa masyarakat Paris merespon dengan tenang
dan biasa saja melakukan aktifitas.
Setelah
beberapa saat menunggu, Hsiao dan Theo warga Taiwan dan Perancis anggota grup Puspa Warna gamelan Bali dari Paris
datang menjemput. Bersama mereka saya menaiki metro (kereta bawah tanah) menuju
menara Eiffel. Seperti turis pada umumnya, berfoto
sejenak diatas Place du Trocadéro, sambil memandang menara Eiffel dari jarak 200 meter. Sesekali termenung dan bersyukur karena sudah
hampir 10 kali ke Paris, hati saya selalu tergoda dihadapan menara Eiffel.
Tiba saatnya, saya
mengajar gamelan Bali di ruang kesenian
KBRI Paris. Sekitar 18 orang penabuh
warga perancis secara tekun berlatih beberapa gending tari barong, kebyar
duduk, topeng Bondres, baris selama 2 hari. Dalam agenda pertunjukan, grup
Puspa warna akan menggelar pertunjukan gamelan dan tari Bali yang akan
diselenggarakan pada tanggal 12 – 13 Maret 2015 di Paris, Perancis.
Very nice bli Made, matur suksema dan semoga sukses selalu !
BalasHapusthanks ya judith.
Hapus