Selasa, 16 Mei 2017

Konser JERUJI yang ‘’teruji’’ di Belgia



            Para komunitas hardcore punk, metal di kota Mons tadi malam terlarut dalam hentakan keras konser perdana JERUJI band asal Bandung di JOC Mons Belgia Senin, 10 April 2017. Teknis permainan para pemusik band ini tidak diragukan lagi. Skill tinggi dan kompak ditambah dengan gaya vokal shouting yang mampu menghipnotis komunitas tersebut. ‘’Saya sangat kagum dengan penampilan kalian (JERUJI), ‘’ very very good ! ujar Johan Detilleux pihak penyelengara dari Alive Records, Mons.

            JERUJI menampilkan 10 lagu original karya mereka sekaligus mempromosikan album kelima terbaru yaitu Stay True.   Gedung JOC tersesak padat oleh para komunitas tersebut sehingga meluber keluar gedung pertunjukan. Antusias penonton sangat positif dan apresiatif. Komunitas tersebut tergoyang ketika moshing/slamdancing  bergerak kesana kemari tanpa menimbulkan aksi kekerasan diantara mereka. Bahkan diakhir pertunjukan suasana kekeluargaan antar komunitas itu berlangsung dengan penuh toleransi.




            Grup Band JERUJI dibentuk pada tahun 1996 dengan beranggotakan Sani (drummer), Ginan (vokalis), Andrie (gitaris) dan bassist Hendy alias Pengex. Konser tahun ini bertajuk  JERUJI 20th Anniversary of European Tour dari tanggal 7 April – 29 April 2017. Tur Eropa ini akan menggelar konser di Belgia, Perancis, Hongaria, Polandia, Ceko, Jerman dan Austria sebanyak 20 konser yang diundang oleh Enemy Booking, Penyelenggara konser musik metal dari Eropa Timur.

            Dalam kesempatan tersebut, KBRI Brussel menyambut gembira penampilan Konser JERUJI di Belgia sebagai momentum sejarah khususnya membuktikan perkembangan para pemusik muda Indonesia.  Indonesia tidak saja memiliki khasanah budaya folklorlistik, tetapi memiliki budaya modern yang pantas diakui dunia. JERUJI salah satunya telah membuktikan diri bahwa  aliran hardcore punk, metal yang dimainkan mendapat tempat dihati warga Belgia.



             Hadir dalam konser tersebut, Ignatius Priambodo Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Brussel dan beberapa masyarakat Indonesia yang berdomisili di kota Mons. "KBRI Brussel sangat mendukung kegiatan  JERUJI 20th Anniversary of European Tour khususnya di Belgia. Penampilan Jeruji sangat luar biasa malam ini dan mudah-mudahan konser mereka di Yper akan lebih dashyat lagi," ujar Ignatius. Jeruji akan melanjutkan tur mereka ke Nantes, Prancis dan kembali tampil di Yper, Belgia tanggal 29 April 2017.


(made agus wardana )

Rabu, 10 Mei 2017

Menyambut matahari terbit di Hotel Inna Sindhu Sanur.





Pegok Sesetan tetap membuat hati saya senang.

            Kesal ! berkali-kali mencoba menyeberang jalan, tidak satupun  kendaraan yang mau berhenti. Setiap detik mobil dan motor berlalu-lalang menyemprot asap yang menusuk hidung. Suara klakson Tiiit ! berbunyi memekakkan telinga. Bau knalpot sepeda motor beradu dengan parfum para pengendaranya. Saya berhenti sejenak,  mencari tempat penyeberangan lain agar bisa lewat, sambil melirik rambu lalu lintas. ‘’Kene Gumin Cange Jani ! (Begini daerahku sekarang).  Pegok Sesetan  sebagai tanah kelahiran,  yang terletak di Denpasar Selatan ini sungguh sangat amat berbeda ketika dibandingkan tahun 1980.  Namun demikian sekesal-kesalnya saya, Pegok Sesetan tetap saja membuat hati senang.

            Pada awal Juli 2016 di Denpasar Bali, suhu udara  menyengat, mengucurkan keringat pembawa resah dan gelisah. Ketiga anak sayapun protes berat dengan suhu tersebut. Saya selalu berusaha meyakinkan mereka bahwa Bali itu lebih baik dari negeri Belgia. Maksud hati tiada lain agar lebih mencintai Bali Indonesia. Maklumlah mereka semua terlahir di Belgia, negeri yang memberikan pertumbuhan fisik, pendidikan dan  fasilitasi publik.  Berbagai cara saya lakukan untuk mempengaruhi dan menyenangkan hatinya agar mencintai Bali yang katanya dahulu kala  sering disebut Paradise

            Mungkin itulah fakta sekilas tentang apa yang saya alami di Pegok Sesetan dimana saya dilahirkan. Penduduk pendatang benar-benar membanjiri segala lini kehidupan bahkan jumlahnya telah melebihi penduduk asli. Kita sudah tidak mengenal satu sama lain.  Budaya menyapa dengan ucapan santun,  mulai terabaikan. Sedikit demi sedikit budaya Bali mulai tersaingi. Sayang beribu sayang jika budaya Hindu Bali yang penuh santun dan damai itu akan digerus pemikiran yang berorientasi serba uang dan uang.  Namun demikian, apapun gambaran fakta  tersebut, Pegok Sesetan akan tetap membuat hati saya senang.






Romantisme matahari terbit

            Pagi itu tepat pukul 06.00 pagi, saya terbangun dari tempat tidur kamar hotel Inna Sindhu Sanur beach. Kicau burung bersautan satu sama lain menjalin improvisasi melodi. Nuansa pagi yang sejuk dan asri terasa kuat. Burung-burung sepertinya  mengingatkan saya untuk segera menuju pesisir pantai sindhu. Lihatlah suasana pagi yang diidamkan banyak orang ! Bali masih cantik dan tanpa polusi.  Semakin saya mendekat semakin keras suara ombak beriak menerjang gundukan pasir.  Angin sepoi-sepoi menghanyutkan jukung atau perahu kayu milik para nelayan yang tertambat di bibir pantai. Sriaaattt ! Sriuuuttt ! bergoyang mengikuti aliran ombak yang semakin membesar.

            Disamping saya, duduk mesra sepasang sejoli warga Eropa.  Mereka menunggu detik-detik terbitnya matahari pagi, bersiap menangkap momen munculnya sang surya.  Dari kejauhan wajah Gunung Agung sebagai gunung tertinggi di Bali tampak terbayang menjulang.  Pelan-pelan namun pasti,  Jreeng !  Berangsur-angsur matahari menyeruak jingga, menyinari awan di ufuk timur jauh. Waoo, sungguh indah !
            Kecupan demi kecupan terdengar. Aduh ! Kemesraan kedua sejoli menikmati dunia cinta mereka, seakan lupa ada saya disampingnya. Pura pura tidak melihat ! Sayapun beranjak dengan kepura-puraan, malu-malu, sambil melirik ngintip, tidak mau mengganggu percintaan mereka. Momen cinta yang sangat indah, Cuiiittt ! Cuiiitttt ! Sambil menyolek pinggang istri saya, yang duduk disamping kanan, sembari melantunkan lagu pop Bali era tahun 70,-an ‘’ Nguda liman bli ne gudip sikun bli ne singgak-singguk ? (terjemahannya : Kenapa tangan kakak nakal, siku tanganmu mencolek pinggangku ? )  Sangat romantis bukan ?





Hotel Inna Sindhu Sanur

            Seandainya waktu masih mengijinkan dan uang euro saya masih tersisa, saya akan tinggal lebih lama di hotel ini. Suasana hotel yang asri, nyaman membuat rasa betah berlimpah. Pelayanan para staf hotel yang senyumnya menempel 24 jam  dan sangat professional, membujuk niat untuk kembali menginap disini. Lokasi hotel yang berada di bibir pantai, menghanyutkan bathin seakan berada ditengah kedamaian yang jauh dari hiruk pikuk suara motor dan mobil.

            Kamar hotel yang bersih, dengan fasilitas standar international lengkap dengan bar, tv kabel, wifi serta kolam renang outdoor yang dikelilingi lanskap tanaman hijau. Disinilah, anak saya mulai menyatakan  bahwa Bali itu ternyata lebih enak dari Belgia. Kita bisa bermanja di hotel, berenang sesuka hati, makan sepuasnya di warung pinggir pantai, menikmati jagung bakar, pokoknya serba ada dan murah.

            Selama tiga hari tiga malam saya memanjakan diri disini dengan harga khusus Rp 3 juta. Sarapan pagi yang dimulai pukul 07.00-10.00 menawarkan berbagai hidangan eropa dan Indonesia.  Sedangkan pada sore hari saya lebih suka menikmati aneka minuman seperti kelapa muda segar, jus dan sebagainya.  Lagi-lagi pelayanan ramah senyuman petugas Bar yang begitu membujuk niat untuk kesini. Ramah banget !

            Secara kebetulan saya bertemu dengan Ibu Ayu Ariani, manager hotel Inna Sindhu Sanur. Ibu yang ramah dan penuh semangat menyampaikan sekilas info tentang sejarah hotel ini. Hotel yang sudah berdiri sejak jaman penjajahan Belanda sampai menjadi hotel milik pemerintah Indonesia (BUMN) yang tergabung kedalam group hotel Inna. Pantesan juga para tamunya kebanyakan Eropa, yang terdengar dalam percakapan bahasa Belanda termasuk warga vlaams Belgia yang sedang menginap di hotel tersebut.







 Mari peduli sampah plastik !

            Bali sebagai pusat pariwisata di Indonesia memiliki jumlah hotel, vila berlimpah ruah seperti kacang goreng berserakan.  Entahlah, bagaimana kondisi itu bisa terjadi antara perang tarif, beradu keramahan, promosi murah meriah hingga mahal tak terjangkau. Sudah barang tentu wisatawannya bervariasi dari wisatawan yang suka ngutil membawa pulang handuk hotel, wisatawan bersahaja dan wisatawan sok jadi raja.            Mau tidak mau, suka tidak suka Bali harus menanggung beban deritanya karena pariwisata telah  merubah segalanya.

            Ketika saya berlari pagi menyusuri pantai Sanur dari ujung utara hingga selatan, saya tersentak dengan beberapa bule yang memungut sampah plastik. Dengan membawa tas ransel mereka rela memungut sampah plastik tersebut. Terlepas dari apa tujuannya, tapi itu sebuah bentuk kepedulian mereka. Bagi mereka gelas plastik yang terhempas di pesisir pantai      harus dibersihkan, daripada dimakan penyu atau ikan sekitarnya.  

            Kalau kita juga bersikap dan bertindak seperti mereka, apa kata dunia ? Bali pasti tidak akan dibuli habis-habisan.  Di satu sisi, saya juga melihat ibu-ibu lokal Bali dari dinas kebersihan pantai yang sedang aktif membersihkan plastik tersebut. Kalau kita tidak bisa melakukan tindakan seperti mereka diatas, tidak apa-apa.  Ada cara lain yang bersifat jangka panjang, yaitu pendidikan penanganan sampah kepada anak-anak kita sejak usia dini. Soalnya pendidikan untuk dewasa biasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, alias berlalu saja.  Kita menggantungkan harapan kepada anak-anak muda, sembari menyampaikan betapa berbahayanya plastik untuk kelangsungan kehidupan kita.

            Abad ini adalah abad ke-21. Peradaban manusia sudah berkembang sangat jauh. Kita masih jauh ketinggalan ngurusin sampah. Bingung tidak ada jalan keluar. Warga asing sudah mempersiapkan diri tinggal di Planet Mars. Pengaturan sampah sudah sangat professional di negeri mereka. Truk sampah di Eropa memungut sampah setiap 2 kali seminggu di depan rumah. Plastik sampah dibedakan, seperti di kota Brussel Belgia misalnya ; tas putih untuk sampah bio dapur, tas kuning untuk sampah kertas, tas biru untuk plastik minuman, tas hijau untuk tumbuh-tumbuhan.  Semuanya berjalan tanpa hambatan, tinggal bayar pajak tahunan rumah tangga sebesar 89 euro semua beres.


Menikmati hidup dan tetap mengkritisi  

             Pegok Sesetan membuat hati saya senang karena disana saya dilahirkan. Romantisme matahari terbit yang membawa kedamaian disitu saya rasakan. Berlibur di hotel Inna Sindhu Sanur sebagai pilihan keluarga tercinta serta perduli dengan sampah plastik merupakan  empat pengalaman nyata yang saya lihat dan alami sendiri.   Pikiran yang penat dan lelahnya jasmani mengharuskan kita meluang waktu untuk berlibur.  Berlibur tidak perlu jauh yang penting terjangkau dengan isi dompet kita.  Hiduplah yang wajar, semampunya dan dapat dinikmati. Apa yang kita lihat dan rasakan selama berlibur akan terkenang selamanya.  Begitu pula dengan turis asing jika melihat plastik berserakan mereka akan bercerita dan berbekas dihatinya. Nah, disinilah kita perlu mengkritisi apa saja yang mengganggu kenyamanan lingkungan kita, agar menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan dimasa-masa yang akan datang.  Yuk Berlibur sambil perduli lingkungan ! (made agus wardana, tinggal di belgia)





Jumat, 24 Februari 2017

Pasar Hamburg, bukan Sekedar Pasar Biasa





Kota Hamburg mesra di malam hari, ramah di siang hari


            Semenjak kehadiran wifi dan smartphone segalanya serba mudah dan praktis. Era online merambah segala lini kehidupan, mempermudah kita memperoleh informasi update. Berbeda dengan 20 tahun yang lalu, ketika saya masih muda belia di kota Brussel.  Berkomunikasi via telepon rumah dengan keluarga dan sang pacar di Bali, harus bayar mahal hanya untuk 5 menit saja. Jeleknya lagi,  kita tidak bisa melihat wajah secara live. Sekarang praktis, menggunakan facebook messenger, webcam, whatapps  kita bisa melihat dan mendengar secara jernih dan lebih murah.

            Pukul 5 sore di Bandara Brussels international airport, saya sedang menunggu pesawat menuju kota Hamburg Jerman. Menunggu tidak lagi membosankan, karena informasi update di media sosial beragam. Saya membaca, mengintip status teman yang sedang ceria, kecewa, selfie hingga menyaksikan tips-tips segar resep memasak di youtube. Akhir-akhir ini, saya sangat konsen dengan memasak. Mencoba berbagai resep, khususnya sayur-sayuran. Harap maklum ya pembaca, hidup di perantuan membutuhkan olahan  kreatifitas disegala bidang, termasuk kreatifitas dalam memasak.

            Singkat cerita, dalam hitungan 1 jam dari kota Brussel, saya telah tiba di kota Hamburg. Kota ‘’mesra di malam hari, ramah di siang hari. Saya menyebut ‘’mesra’’ karena banyaknya muda-mudi bermesraan di tepi danau Alster, memadu kasih dalam riak suasana malam syahdu. Danau Alster disebelah mana ya ? alamatnya di  Jungfernstieg, 20534 Hamburg, bisa menggunakan  public transport :  S1, S2, S3 and U1, U2, Station 'Jungfernstieg'





            Kemudian, saya menyebut ‘’ramah’’ karena terkesan dengan warga setempat. Kejadiannya disaat saya kesasar menuju museum Etnologi Museum für Völkerkunde HamburgTelepon saya low bat, saya memohon dicarikan taksi kepada warga Jerman yang kebetulan berada di sekitar saya. Satu keluarga membantu dengan ramah, menunggu dan menelpon hingga sopir taksi datang.  Saya bersyukur ternyata banyak sekali orang orang baik berada disekeliling kita, atau barangkali ini merupakan kebetulan saja.  Walaupun demikian kesan positif yang terjadi pada saya ini, sedikit tidaknya  akan terkenang dihati selama-lamanya.


Undangan berkesenian di Pasar Hamburg

            Kedatangan saya ke Hamburg sebagai pemain suling Bali, atas undangan dari Juli Wirahmini Biesterfeld sang ketua penyelenggara Pasar Hamburg. Pasar Hamburg adalah ajang  festival Indonesia terbesar di negara berbahasa Jerman yang diadakan setiap tahun di museum Etnologi Museum für Völkerkunde Hamburg. Tahun ini merupakan edisi yang keempat kalinya, yang diselenggarakan selama dua hari  dari  tanggal 10 hingga 11 September 2016. Beragam acara ditampilkan seperti pertunjukan tari, musik, diskusi, film, workshop, pameran foto, bedah buku dan pasar kuliner Indonesia.





            Para artis didatangkan khusus dari Indonesia seperti grup band Marginal Jakarta dan  Topeng Bondres Lawak Rare Kual Bali. Sedangkan yang dari Eropa diantaranya  Ina Dance Belanda, Yonatan Pandelaki Band Jerman, grup Tari IMAN Jerman, Duo Violissimo Jerman, The Toffi Jerman, Trio Fridaus Jerman, dan saya sendiri si pemain suling Bali dari  Belgia.

            Pukul sembilan pagi di hari pertama Pasar Hamburg, kesibukan sudah kentara diberbagai sudut ruangan museum. Para panitia yang sebagian besar pelajar dan diaspora Indonesia ini, terlihat bekerjasama bahu membahu. Sebagai penampil seni atau artis, kita ditempatkan dalam sebuah ruangan yang bersih dan nyaman yang berada persis didekat panggung utama pertunjukan.  Apapun yang kita tanyakan kepada panitia, jawaban mereka jelas dan siap membantu para penampil seni tersebut. Para panitia disini membawa pesona kekeluargaan dan melayani artis secara profesional. Program yang tertulis secara jelas, dengan durasi waktu yang telah ditentukan membuat para penampil seni menyiapkan diri sebaik mungkin. Kemudian peralatan soundsystem dan para tekhnisi yang berpengalaman membuat pasar Hamburg ini semakin profesional. Namun satu hal yang perlu dikritisi adalah pasar Hamburg terlalu pendek waktunya. Kalau bisa diperpanjang menjadi 3 atau 4 hari agar bisa menjangkau publik lebih luas.

            Didalam ruangan artis, saya hanya tersenyum manis, melihat godaan demi godaan grup lawak bondres Rare Kual Buleleng Bali terhadap penari cantik Ina dance dari Belanda. Keakraban mereka membuat suasana bertambah menyenangkan. Suara kocak rare kual, dengan penuh tawa membuat saya terpingkal. Gaya, ekpresi lucu, gerak-gerik polos dan guyonan mereka sangat khas tanpa dibuat-buat. Rare Kual yang terdiri 4 pemuda Bali ini  merupakan grup topeng bondres terkenal yang sudah melanglang buana di Bali bahkan ke berbagai negara eropa. 



            Tanpa saya sadari, salah satu dari tim Rare Kual menghampiri saya sambil berbisik dengan serak-serak basah dalam bahasa bali khas buleleng yang kental :

‘’ Bli made, jegeg jegeg gati penari Ina dance uli Belande ne !, tawang keto jeg plaibang polone ! (artinya : Bli Made, cantik cantik sekali para penari dari Ina dance, saya mau larikan mereka ) Sayapun menjawab dengan nyengir sambil berkedip  :  ‘’Eh, kanguwang mai mepotrek gen paekan, apang maan ngelut, jeg nyak seger bayune, kiiik ! (artinya : eh, sini kita berfoto kesini saja sambil peluk dikit, supaya semangatmu segar bugar, kiiik )

            Mendengar saran saya itu, mereka (Rare Kual) berkedip cinta bling bling bling pertanda ‘’tidak sabar’’ untuk segera berpelukan. He he he.


Pameran Foto Suara Pesisir

            Nampaknya para seniman-seniman ini tidak diragukan lagi sepak terjang berkesenian mereka. Lihatlah penampilan grup band Marjinal yang sangat jantan menyuarakan perlawanan kuat terhadap suatu ketidakadilan yang berkembang ditengah masyarakat. Marjinal melantunkan Lagu tolak reklamasi teluk benoa  terdengar bergemuruh diruangan museum, dinyanyikan bersama sama oleh para penonton. Kemudian Rare Kual beraksi dengan interaktif gerak komedi lucu yang berwajah bondres Bali, mampu menyemarakan festival ini hingga penonton terpingkal pingkal.





            Selangkah kemudian, saya juga sempat memanfaatkan waktu untuk melihat Pameran Foto yang digelar di lantai 1 gedung museum . Pameran foto ini menyajikan image cerita tentang pesisir laut nusantara dan wajah pesisir sebagai tempat tinggal nenek moyang kita sebagai bangsa pelaut. Pameran ini rupanya bertajuk Suara Pesisir yang menjadi ajang penggugah dalam pasar Hamburg tahun 2016 ini.  Karya foto yang dipamerkan  adalah buah karya sepuluh pewarta foto Divisi Pemberitaan Foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA atau ANTARA Foto.

            Kesepuluh pewarta foto yang karya mereka dipamerkan pada ajang ini adalah Andreas Fitri Atmoko, Iggoy el Fitra, I Nyoman Budhiana, Ismar Patrizki, Muhammad Adimaja, Mochammad Risyal Hidayat, Rosa Panggabean, Sigid Kurniawan, Wahyu Putro A, Moch Risyal Hidayat, dan Zabur Karuru. Dari kesepuluh pewarta foto itu, disajikan 13 foto cerita seri tentang pesona keindahan alam, berbagai prosesi budaya masyarakat yang menawan, dan sejumlah problematika mengenai pesisir yang tengah menghangat di Indonesia.


Yuk, Mencintai keragaman nusantara

            Kalau bukan karena cinta Indonesia, tidaklah mungkin Pasar Hamburg ini berjalan dengan lancar dan sukses.  Waktu yang tersita, biaya yang dikeluarkan, hingga tenaga terkuras habis bukanlah menjadi halangan bagi tim penyelenggara Pasar Hamburg ini. Pengerjaan dilakukan secara swadaya oleh diaspora Indonesia, pelajar, masyarakat Indonesia dan masyarakat Jerman sepantasnya diberi apresiasi yang tinggi. Bersinergi membangun Indonesia, menginformasikan berita aktual dan mengkritisi dampak negatif yang terjadi ditengah masyarakat, menampilkan keahlian para seniman Indonesia hingga mempromosikan cita rasa makanan Indonesia di Pasar Hamburg ini.





            Alangkah bahagianya kalau kita melihat kebersamaan warga masyarakat Indonesia yang berbeda suku, agama dan golongan menyatu membangun Indonesia melalui Pasar Hamburg  ini. Alangkah cerianya nenek moyang para pelaut nusantara  ketika mereka melihat kepedulian kita terhadap pesisir laut nusantara walaupun dalam bentuk pameran foto. Alangkah terhiburnya warga Jerman atau para pengunjung atas berbagai atraksi seni budaya nusantara. Alangkah sayangnya kalau kita tidak mencintai keragaman budaya kita sendiri bahkan tidak perduli sama sekali.

            Nah, para pembaca kompas travel, sebagai penabuh suling Bali yang telah tiga kali hadir di Pasar Hamburg ini, melihat dengan mata kepala sendiri bahwa warga Jerman dan warga Eropa lainnya sangat tinggi menghargai budaya Indonesia. Mereka serius mendengarkan, serius menyaksikan, serius memainkan gamelan, serius menari, serius mempelajari hingga cintanya lebih daripada kita mencintai budaya kita sendiri.  Apakah dirimu rela budaya nusantara akan menjadi milik warga asing ? Tidak Bukan.
(Penulis : made agus wardana tinggal di Belgia)

            

Jumat, 28 Oktober 2016

Menghargai Tattoo sebagai sebuah karya seni




            Kota Rotterdam, Belanda berada dibawah temperatur 10 derajat celcius, agaknya saya terlalu sombong tidak memakai jaket sehingga tubuh ini menggigil kedinginan. Kalau orang Bali protes bilangnya  begini  ‘’Ajum sajan, sing tawange dingin !’’.  (artinya, sombong banget sih, kan dingin !). Maksud hati sebenarnya ingin ‘’menampilkan diri’’ seperti para pemuda tinggi besar bertatoo yang berlalu-lalang di depan loket pameran tattoo Rotterdam Convention Center pada bulan maret 2016 lalu. Kelihatan gagah perkasa, bertatoo, galak dan jantan didepan siapa saja.

            Bagi sebagian orang, kalau melihat orang bertatoo pasti muncul hal negatif. Kadang identik dengan brandalan, sangar, kriminal bahkan eks nara pidana. Pandangan sinis selalu tertuju kepada mereka yang bertatoo. Memang para penjahat sering juga memakai tattoo, namun dalam kenyataannya tidak semua orang memiliki tattoo itu adalah seorang penjahat. Disinilah kita membutuhkan sebuah persepsi positif dalam menilai seseorang di depan kita.

            Saat itu, saya berada di gedung Rotterdam Convention Center melihat secara langsung cara membuat tattoo.  Bertemu seorang bule, lewat begitu saja dengan perawakan sangar, seluruh tubuhnya dirajah dengan berbagai gambar binatang, bunga, simbol-simbol patriotisme. Telingannya berjubel anting-anting gede banget seperti lehernya mau miring kekiri atau kekanan. Tapi ketika saya berbicara dengan dia, dia sangat sopan dan baik hati. Terpancar dalam hatinya energi positif. Secara otomatis saya menebak bahwa orang ini pasti baik. Atau dalam bahasa canda saya, ‘’Wajahmu Rock tapi Hatimu Dangdut’’. Wajah boleh sangar tapi hati tetap berbinar. Dengan demikian persepsi saya sangatlah positif kepada dia. Itulah suasana mengesankan  saya, disaat mengunjungi seorang teman yang juga tukang tattoo handal. Teman saya itu bernama Wayan Abuth Suryana pria jantan asal Bali yang ikut berpartisipasi dalam rangka  pameran Tattoo Internasional Roterdam yang berlangsung dari tgl 18 – 20 Maret 2016.



            Melirik sejarah, Tatoo adalah bagian dari budaya bangsa yang tercipta sudah zaman dahulu. Sejarah mencatat bahwa tattoo berasal dari bahasa Tahiti ‘’tatu’’ yang diartikan tanda. Tanda bisa berupa obyek gambar atau tulisan yang dirajah dikulit, entah itu kulit kaki, tangan, lengan badan dsbnya.  Proses pembuatannya membutuhkan durasi yang lama berjam-jam bahkan bisa bertahun tahun sesuai dengan besarnya tattoo yang diinginkan. Konon kabarnya tattoo sudah ada sejak zaman Mesir dan juga digunakan untuk ritual oleh suku suku kuno seperti Inca, Maori, Ainu dan Poleynisians. Termasuk juga di Indonesia suku Mentawai dan suku Dayak dari Kalimantan.  Tatto berkembang dengan pesatnya, bahkan para pemain sepakbola terkenal dan para selibritis berlomba merajah kulitnya dengan berbagai gambar yang disukainya ntah apa tujuannya yang penting membuat mereka senang dalam penggunaanya.

Wayan Abuth Suryana si Penattoo yang kreatif

            Abuth adalah sosok anak muda yang sangat kreatif dalam membuat tattoo untuk para pelanggannya. Bermodal semangat dan fokus dalam berkarya pada akhirnya  mampu mendirikan usaha resmi tattoo yaitu As-Tatoo pada  tahun 2000 di kota Frankfurt Jerman. Puluhan penghargaan diraihnya dalam skala internasional dari berbagai kategori diantaranya : Juara I Dortmund Tattoo Convention, Juara I Amsterdam Tattoo Convention, Best Ornamentic Tattoo Berlin Tattoo Convention, Best of Color Manhein Tattoo Convention, Best Realistic Tattoo River Expo Minz Jerman, Juara I Best Tribal Tattoo Frankfurt Convention  dan lain lain.

            Ditemui dalam rangka  Roterdam Tattoo Convention, alasan Abuth memilih usaha Tattoo adalah awalnya saya memang suka melukis terutama dengan tekhnik airbrush.  Terus melihat tattoo menjadi tertarik karena banyak tantangannya dan terkesan unik. Maksudnya kalau membuat Tattoo kepada seorang costumer, memiliki nilai seni tertanda seumur hidup. Itulah sebuah kehormatan yang tidak ternilai harganya bagi saya, dapat melukis di kulit tubuh manusia yang akan menjadi kenangan abadi selamanya.

            Ditambahkan lagi untuk menekuni dunia tattoo tidak hanya pengetahuan tentang seni yang diperlukan, tetapi  yang juga sangat penting adalah faktor hygienisnya. Karena rajah tubuh bersifat melukai dan setara dengan operasi kulit yang mengakibatkan luka pada kulit dan mengeluarkan darah.  Untuk itu dianjurkan dan diharuskan bagi setiap tukang tattoo dibekali standard pengetahuan kesehatan dan hygienis ruangan, alat tattoo yang digunakan dan kesterilannya.  Bahan warna yang dipakai juga harus melalui uji test oleh dinas kesehatan terkait.





Berjuang menghidupi keluarga

            Usaha Tattoo yang dilakukan dari nol ini membuahkan hasil yang membahagiakan hidupnya. Menghidupi kebutuhan keluarga dengan istri dan 2 anak, dapat memberikan semangat hidup buatnya. Tattoo telah memberikan  rezeki dan kebahagian tiada bandingannya. Pria yang berasal dari Pegok, Denpasar Bali ini selalu bersyukur kepada Tuhan/Ida Sanghyang Widi Wasa dengan apa yang telah diperolehnya.  Tidak mengherankan pula setiap kegiatan yang dlakukan selalu ada persembahan berupa ucapan puji syukur dengan rangkaian bunga  canang sari di Pelangkiran (tempat suci ) yang selalu menyertainya disaat tattoo convention dimanapun berlangsung ‘’ ujar Abuth bersemangat.








Persepsi Positif kepada yang bertattoo

            Mari kita menghargai dan menghormati satu sama lain. Apapun tampak luarnya, belum tentu sama didalamnya. Seperti menilai buku jangan dari sampulnya, harus menilai dari isi dan kandungan yang ada didalamnya. Begitu juga menilai seseorang, walaupun dia bertattoo, sangar, kelihatan kejam bukan berarti dia kasar ataupun kriminal.  Sangat tidak adil jika kita menilai seseorang secara parsial, yaitu dengan melihat wajahnya saja.

            Tattoo merupakan bagian dari kebudayaan dan jejak peradaban seni manusia. Sebuah karya seni yang tentunya harus mendapat apresiasi yang sama seperti karya seni lainnya. Seorang tukang tattoo membutuhkan waktu dan kerja keras dalam membuatnya. Kesabaranpun ditaruhkan demi sebuah kepuasan penikmatnya. Tattoo juga memberikan penghidupan yang layak, memberikan rezeki dan juga kebahagiaan.  Perlu kita sadari bahwa saatnya kita memberikan persepsi positif terhadap seni Tattoo yang berkembang alami ditengah masyarakat sebagai sebuah karya seni yang tidak ternilai harganya. (Penulis : Made Agus Wardana, tinggal di belgia)





Minggu, 03 Juli 2016

The Batle of Waterloo 1815 di Belgia




            Menyaksikan  film dokumenter tentang Pertempuran Waterloo di youtube, membuat hati saya  terenyuh emosional. Bayangkan suara pedang ‘’tang teng tang teng ‘’ saling tusuk,  tubrukan seribu derap kaki kuda pasukan kavaleri, hentak langkah pasukan infanteri, gemuruh dentuman meriam yang memporak-porandakan kerumunan pasukan. Hancur ! Muncrat ! Darah dimana-mana sangat menyeramkan. Drama peperangan tersebut seakan nyata dalam realitas yang terjadi, sungguh mengerikan.

            Perang terjadi karena pihak-pihak bertikai memiliki kepentingan masing-masing.  Kepentingan akan ambisi kekuasaan, ideologi, perebutan wilayah, sumber daya alam serta motif perubahan sistem kekuasaan.  Tapi benarkah, perang juga membawa sebuah ‘’perubahan baik’’ ? Barangkali bisa dibenarkan.  Misalnya perubahan berupa hak-hak pribadi dan kepemilikan warga sipil yang setara dan memiliki kedudukan yang sama dalam segala hal. Warga sipil tidak terbelenggu lagi dengan tekanan kaum bangsawan monarki yang berstatus sosial lebih tinggi. Mereka berhak membela hak-haknya  sebagai warga masyarakat dan negara.

            Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu ‘’perubahan baik’’ akibat  dari peperangan seperti tersebut diatas adalah peristiwa  The Batlle of WaterlooThe Batlle of Waterloo yang terjadi hari Minggu, tanggal 18 Juni 1815 adalah perang maha dashyat antara pasukan Napoleon Bonaparte dan pasukan koalisi pimpinan Duke of Wellington. Pasukan koalisi terdiri-dari gabungan pasukan Inggris, Prusia, Belanda, Hannover, Nassau, dan Brunswick. Pasukan koalisi Inggris - Belanda berjumlah 68.000 orang, Pasukan  Prusia berjumlah 50.000 orang, sedangkan  pasukan Napoleon berjumlah 73.000 orang.  Peristiwa bersejarah  ini  menyebabkan perubahan fantastis di Eropa bahkan di dunia. Ingin tahu cerita dan dimana kejadiannya ? Yuk, ikuti saya !



            Sore itu menjelang musim dingin bulan nopember di Belgia,  angin dingin berhembus kencang menyapa pipi yang kedinginan.  Mendung hitam bergumpal, menghalau sang surya menyinari area pertanian di kawasan Braine-l'Alleud.  Angin kencang berhembus membuyarkan pandangan, menerbangkan dedaunan kering disekitarnya. Tampak jelas, pohon kentang yang tertanam di daerah tersebut bergoyang massal mengikuti irama hembusan angin kekiri dan kekanan. Ditempat ini menjulang monumen  Butte du Lion(Bukit Singa ) yang didirikan setelah berakhirnya pertempuran Waterloo. Sebuah monumen peringatan  para korban, khususnya Pangeran William II dari Belanda yang terluka ketika pertempuran berlangsung disana. Gundukan Bukit Singa atau Butte du Lion (baca : But du liong) dengan ketinggian 41 meter tampak hijau ditumbuhi rerumputan dalam kemiringan. Dipuncaknya  berdiri patung  Singa dari besi sedang menginjak bola dunia.

            Tapi saya merasa heran dengan nama  Waterloo. Kenapa kota Waterloo yang menjadi terkenal, bukannya Braine-l'Alleud ? Padahal sangat jelas bahwa pertempuran Waterloo itu sesungguhnya terjadi di wilayah Braine-l'Alleud. Braine-l'Alleud adalah distrik yang bertetangga dengan kota Waterloo yang merupakan kawasan ladang pertanian. Menurut berbagai sumber, pemimpin pasukan koalisi Duke of Wellington menggunakan istilah Battle of Waterloo untuk pertama kalinya. Alasannya karena kota Waterloo adalah posisi pertahanan strategis Wellington. Di kota itu pula dia mengatur siasat dan strategi bertahan untuk membendung pasukan Napoleon yang berencana memasuki kota Brussel. Strategi ini cukup berhasil sehingga pasukan Napoleon berhenti di kawasan Braine-l'Alleud tersebut. 


           
Pasukan Napoleon yang kesohor itu, kalah  ?

            Sebenarnya sih tidak kalah, jika tidak terjadi penundaan penyerangan akibat hujan lebat di hari sebelumnya tgl 17 Juni.  Hujan lebat membuat medan pertempuran basah kuyup dan becek berlumpur. Pergerakan pasukan berkuda mengalami kesulitan, bahkan meriam sebagai senjata ampuh sangat sulit dan berat untuk dijalankan. Keesokan harinya,  Napoleon memutuskan menunda pertempuran dan menunggu sampai jam 11 lewat agar tanah lebih kering dan mengeras.  Penundaan waktu inilah yang mempercepat kedatangan bala bantuan  50. 000 pasukan Prusia pimpinan Gebhard Leberecht Von Blücher yang datang dari kota Wavre, 8 km dari arena pertempuran.
 osi, problem psikologis, nyawa s, nyawa erasan menghancurkan kedamaian hidup kita saja           

Napoleon Banaparte

            Siapa yang tidak kenal dengan Napoleon Bonaparte, tokoh besar dalam sejarah Eropa. Lahir pada tahun 1769, meninggal tahun 1821. Berwatak keras, ambisius, karismatik dan anti monarki. Sewaktu Revolusi Perancis tercetus, dia berusia 20 tahun. Pemikiran dan idenya sangat jelas terpengaruh oleh situasi dan kondisi dimana rakyat Perancis menginginkan perubahan sistem kekuasaan dari kerajaan menjadi republik. Dengan intrik, strategi dan pengaruhnya  Napoleon berhasil mengangkat dirinya menjadi seorang kaisar dan bertempur selama 17 tahun di berbagai negara Eropa hingga ke Turki dan Mesir.

            Kebenciannnya terhadap sistem monarki,  membuat para raja-raja di Eropa merasa terancam dan cemas.  Kecemasan raja-raja di Eropa bertambah lagi dengan penyebaran Ide demokrasi liberal dari seorang Napoleon.  Nah, saat itulah para raja-raja di Eropa bersatu membentuk koalisi melawan Napoleon Bonaparte.



Janganlah ada perang lagi !

            Sesungguhnya perang adalah konflik. Konflik yang menyusahkan banyak orang. Korban berjatuhan, munculnya kemiskinan, kehidupan damai jauh dari harapan. Kebencian, kekerasan sambung menyambung menjadi satu. Sejarah kelam membuat kita sadar, bahwa perang ternyata menyusahkan kehidupan kita. Namun demikian, Perang juga membawa ‘’Perubahan Baik’’ tergantung dari perspektif mana kita mengamatinya.

            Bagi rakyat Perancis aksi Napoleon dianggap sebagai sebuah aksi heroik yang membela hak-hak sipil warganya. Mengedepankan demokrasi dan mempercepat hilangnya feodalisme setelah tercetusnya Revolusi Perancis pada tahun 1789.  Munculnya istilah Kode Napoleon yang berisi tata kehidupan sipil, yang juga digunakan dalam kehidupan kita sekarang ini.

            Kemudian dari perspektif  pasukan koalisi (Raja-raja di Eropa) secara jelas bahwa karena adanya ancaman terhadap sistem monarki dan perluasan wilayah menyebabkan pasukan koalisi bergabung menyerang Pasukan Napoleon.  Keberhasilan mengalahkan pasukan Napoleon menuai pujian khususnya bagi Duke Of Wellington dalam mengalahkan ambisi napoleon yang haus kekuasaan.

            Bagi saya sendiri, Pertempuran Waterloo sudah berlalu, walaupun begitu bekas trauma masih terdampar. Trauma diderita oleh para pelaku yang menjadi korban pertempuran tersebut. Ladang persawahan medan pertempuran waterloo sepertinya tidak mau sejarah kelam terulang kembali. Darah sudah terlalu banyak terisap oleh tanah pertanian tersebut. Pemandangan kawasan pertempuran Waterloo yang mendung, seakan membukakan hati kita. Sudahlah, jangan ada pertempuran lagi antara sesama manusia. Sekalipun pertempuran itu melahirkan ‘’perubahan baik’’ bagi warga sipil, tetapi tetap saja peperangan tersebut membawa dampak yang buruk. Belajarlah dari sejarah, jangan ada korban jiwa, sudah semestinya perang tidak ada lagi di muka bumi ini.