Rabu, 10 Mei 2017

Menyambut matahari terbit di Hotel Inna Sindhu Sanur.





Pegok Sesetan tetap membuat hati saya senang.

            Kesal ! berkali-kali mencoba menyeberang jalan, tidak satupun  kendaraan yang mau berhenti. Setiap detik mobil dan motor berlalu-lalang menyemprot asap yang menusuk hidung. Suara klakson Tiiit ! berbunyi memekakkan telinga. Bau knalpot sepeda motor beradu dengan parfum para pengendaranya. Saya berhenti sejenak,  mencari tempat penyeberangan lain agar bisa lewat, sambil melirik rambu lalu lintas. ‘’Kene Gumin Cange Jani ! (Begini daerahku sekarang).  Pegok Sesetan  sebagai tanah kelahiran,  yang terletak di Denpasar Selatan ini sungguh sangat amat berbeda ketika dibandingkan tahun 1980.  Namun demikian sekesal-kesalnya saya, Pegok Sesetan tetap saja membuat hati senang.

            Pada awal Juli 2016 di Denpasar Bali, suhu udara  menyengat, mengucurkan keringat pembawa resah dan gelisah. Ketiga anak sayapun protes berat dengan suhu tersebut. Saya selalu berusaha meyakinkan mereka bahwa Bali itu lebih baik dari negeri Belgia. Maksud hati tiada lain agar lebih mencintai Bali Indonesia. Maklumlah mereka semua terlahir di Belgia, negeri yang memberikan pertumbuhan fisik, pendidikan dan  fasilitasi publik.  Berbagai cara saya lakukan untuk mempengaruhi dan menyenangkan hatinya agar mencintai Bali yang katanya dahulu kala  sering disebut Paradise

            Mungkin itulah fakta sekilas tentang apa yang saya alami di Pegok Sesetan dimana saya dilahirkan. Penduduk pendatang benar-benar membanjiri segala lini kehidupan bahkan jumlahnya telah melebihi penduduk asli. Kita sudah tidak mengenal satu sama lain.  Budaya menyapa dengan ucapan santun,  mulai terabaikan. Sedikit demi sedikit budaya Bali mulai tersaingi. Sayang beribu sayang jika budaya Hindu Bali yang penuh santun dan damai itu akan digerus pemikiran yang berorientasi serba uang dan uang.  Namun demikian, apapun gambaran fakta  tersebut, Pegok Sesetan akan tetap membuat hati saya senang.






Romantisme matahari terbit

            Pagi itu tepat pukul 06.00 pagi, saya terbangun dari tempat tidur kamar hotel Inna Sindhu Sanur beach. Kicau burung bersautan satu sama lain menjalin improvisasi melodi. Nuansa pagi yang sejuk dan asri terasa kuat. Burung-burung sepertinya  mengingatkan saya untuk segera menuju pesisir pantai sindhu. Lihatlah suasana pagi yang diidamkan banyak orang ! Bali masih cantik dan tanpa polusi.  Semakin saya mendekat semakin keras suara ombak beriak menerjang gundukan pasir.  Angin sepoi-sepoi menghanyutkan jukung atau perahu kayu milik para nelayan yang tertambat di bibir pantai. Sriaaattt ! Sriuuuttt ! bergoyang mengikuti aliran ombak yang semakin membesar.

            Disamping saya, duduk mesra sepasang sejoli warga Eropa.  Mereka menunggu detik-detik terbitnya matahari pagi, bersiap menangkap momen munculnya sang surya.  Dari kejauhan wajah Gunung Agung sebagai gunung tertinggi di Bali tampak terbayang menjulang.  Pelan-pelan namun pasti,  Jreeng !  Berangsur-angsur matahari menyeruak jingga, menyinari awan di ufuk timur jauh. Waoo, sungguh indah !
            Kecupan demi kecupan terdengar. Aduh ! Kemesraan kedua sejoli menikmati dunia cinta mereka, seakan lupa ada saya disampingnya. Pura pura tidak melihat ! Sayapun beranjak dengan kepura-puraan, malu-malu, sambil melirik ngintip, tidak mau mengganggu percintaan mereka. Momen cinta yang sangat indah, Cuiiittt ! Cuiiitttt ! Sambil menyolek pinggang istri saya, yang duduk disamping kanan, sembari melantunkan lagu pop Bali era tahun 70,-an ‘’ Nguda liman bli ne gudip sikun bli ne singgak-singguk ? (terjemahannya : Kenapa tangan kakak nakal, siku tanganmu mencolek pinggangku ? )  Sangat romantis bukan ?





Hotel Inna Sindhu Sanur

            Seandainya waktu masih mengijinkan dan uang euro saya masih tersisa, saya akan tinggal lebih lama di hotel ini. Suasana hotel yang asri, nyaman membuat rasa betah berlimpah. Pelayanan para staf hotel yang senyumnya menempel 24 jam  dan sangat professional, membujuk niat untuk kembali menginap disini. Lokasi hotel yang berada di bibir pantai, menghanyutkan bathin seakan berada ditengah kedamaian yang jauh dari hiruk pikuk suara motor dan mobil.

            Kamar hotel yang bersih, dengan fasilitas standar international lengkap dengan bar, tv kabel, wifi serta kolam renang outdoor yang dikelilingi lanskap tanaman hijau. Disinilah, anak saya mulai menyatakan  bahwa Bali itu ternyata lebih enak dari Belgia. Kita bisa bermanja di hotel, berenang sesuka hati, makan sepuasnya di warung pinggir pantai, menikmati jagung bakar, pokoknya serba ada dan murah.

            Selama tiga hari tiga malam saya memanjakan diri disini dengan harga khusus Rp 3 juta. Sarapan pagi yang dimulai pukul 07.00-10.00 menawarkan berbagai hidangan eropa dan Indonesia.  Sedangkan pada sore hari saya lebih suka menikmati aneka minuman seperti kelapa muda segar, jus dan sebagainya.  Lagi-lagi pelayanan ramah senyuman petugas Bar yang begitu membujuk niat untuk kesini. Ramah banget !

            Secara kebetulan saya bertemu dengan Ibu Ayu Ariani, manager hotel Inna Sindhu Sanur. Ibu yang ramah dan penuh semangat menyampaikan sekilas info tentang sejarah hotel ini. Hotel yang sudah berdiri sejak jaman penjajahan Belanda sampai menjadi hotel milik pemerintah Indonesia (BUMN) yang tergabung kedalam group hotel Inna. Pantesan juga para tamunya kebanyakan Eropa, yang terdengar dalam percakapan bahasa Belanda termasuk warga vlaams Belgia yang sedang menginap di hotel tersebut.







 Mari peduli sampah plastik !

            Bali sebagai pusat pariwisata di Indonesia memiliki jumlah hotel, vila berlimpah ruah seperti kacang goreng berserakan.  Entahlah, bagaimana kondisi itu bisa terjadi antara perang tarif, beradu keramahan, promosi murah meriah hingga mahal tak terjangkau. Sudah barang tentu wisatawannya bervariasi dari wisatawan yang suka ngutil membawa pulang handuk hotel, wisatawan bersahaja dan wisatawan sok jadi raja.            Mau tidak mau, suka tidak suka Bali harus menanggung beban deritanya karena pariwisata telah  merubah segalanya.

            Ketika saya berlari pagi menyusuri pantai Sanur dari ujung utara hingga selatan, saya tersentak dengan beberapa bule yang memungut sampah plastik. Dengan membawa tas ransel mereka rela memungut sampah plastik tersebut. Terlepas dari apa tujuannya, tapi itu sebuah bentuk kepedulian mereka. Bagi mereka gelas plastik yang terhempas di pesisir pantai      harus dibersihkan, daripada dimakan penyu atau ikan sekitarnya.  

            Kalau kita juga bersikap dan bertindak seperti mereka, apa kata dunia ? Bali pasti tidak akan dibuli habis-habisan.  Di satu sisi, saya juga melihat ibu-ibu lokal Bali dari dinas kebersihan pantai yang sedang aktif membersihkan plastik tersebut. Kalau kita tidak bisa melakukan tindakan seperti mereka diatas, tidak apa-apa.  Ada cara lain yang bersifat jangka panjang, yaitu pendidikan penanganan sampah kepada anak-anak kita sejak usia dini. Soalnya pendidikan untuk dewasa biasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, alias berlalu saja.  Kita menggantungkan harapan kepada anak-anak muda, sembari menyampaikan betapa berbahayanya plastik untuk kelangsungan kehidupan kita.

            Abad ini adalah abad ke-21. Peradaban manusia sudah berkembang sangat jauh. Kita masih jauh ketinggalan ngurusin sampah. Bingung tidak ada jalan keluar. Warga asing sudah mempersiapkan diri tinggal di Planet Mars. Pengaturan sampah sudah sangat professional di negeri mereka. Truk sampah di Eropa memungut sampah setiap 2 kali seminggu di depan rumah. Plastik sampah dibedakan, seperti di kota Brussel Belgia misalnya ; tas putih untuk sampah bio dapur, tas kuning untuk sampah kertas, tas biru untuk plastik minuman, tas hijau untuk tumbuh-tumbuhan.  Semuanya berjalan tanpa hambatan, tinggal bayar pajak tahunan rumah tangga sebesar 89 euro semua beres.


Menikmati hidup dan tetap mengkritisi  

             Pegok Sesetan membuat hati saya senang karena disana saya dilahirkan. Romantisme matahari terbit yang membawa kedamaian disitu saya rasakan. Berlibur di hotel Inna Sindhu Sanur sebagai pilihan keluarga tercinta serta perduli dengan sampah plastik merupakan  empat pengalaman nyata yang saya lihat dan alami sendiri.   Pikiran yang penat dan lelahnya jasmani mengharuskan kita meluang waktu untuk berlibur.  Berlibur tidak perlu jauh yang penting terjangkau dengan isi dompet kita.  Hiduplah yang wajar, semampunya dan dapat dinikmati. Apa yang kita lihat dan rasakan selama berlibur akan terkenang selamanya.  Begitu pula dengan turis asing jika melihat plastik berserakan mereka akan bercerita dan berbekas dihatinya. Nah, disinilah kita perlu mengkritisi apa saja yang mengganggu kenyamanan lingkungan kita, agar menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan dimasa-masa yang akan datang.  Yuk Berlibur sambil perduli lingkungan ! (made agus wardana, tinggal di belgia)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar