Barangkali
kita tidak mengira bahwa sekecil apapun promosi budaya Indonesia yang dilakukan
di negeri orang, akan memudahkan warga setempat mengenal Indonesia yang
sesungguhnya. Kait mengkait, dibicarakan orang, dari mulut ke mulut, dari media
cetak maupun elektronik, media sosial, youtube semua memuat kegiatan
promosi budaya tersebut sehingga menjadi pusat perhatian mereka.
Barangkali
pula, kita tidak mengira bahwa promosi budaya ada yang dilakukan atas
dasar konsep gotong royong (tanpa Imbalan) dan juga atas dasar profesionalisme
karena memang profesi dan mata pencahariannya disitu. Gotong-royong sebagai
salah satu budaya Indonesia menjadi perekat sikap sosial masyarakatnya. Walaupun
berada di negeri Eropa, sikap gotong-royong dalam konteks promosi budaya
Indonesia masih diperlukan dan patut diteladani. Dilain pihak, Kitapun
harus menghargai orang-orang yang memang berprofesi disitu, mereka menghabiskan
waktu, mengeluarkan biaya transportasi dan tentunya membutuhkan biaya
hidup sehari-hari.
Barangkali
pula, kalau tidak ada sebuah komitmen kuat, kegiatan promosi budaya Indonesia
yang dilakukan di luar negeri tidak akan pernah ada hasilnya. Komitmen inilah
yang melangkahkan kaki saya sebagai seorang penabuh gamelan melakukan promosi
budaya di Eropa. Tidak sendirian, tapi bersama teman, keluarga, kerabat, warga
setempat atas prakarsa sendiri maupun dukungan KBRI Brussel. Dalam data
pertunjukan yang saya lakukan dari tgl 2 Mei sampai 20 Juni 2015 terdapat 10 kali
event budaya berlokasi di Belgia, Belanda hingga Swedia.
Perayaan
saraswati 2 Mei 2015 di Parc Pairi Daiza Belgia, dilakukan melalui konsep
gotong royong oleh komunitas masyarakat Bali Belgia-Luxembourg (Banjar Shanti
Dharma ) yang membuahkan kegiatan budaya yang paling saya kagumi. Kagum
akan kemauan masyarakat Bali di Eropa berbondong-bondong datang ke Belgia
berpartisipasi dalam perayaan Saraswati terbesar di Luar Indonesia.
Mereka datang mensukseskan kegiatan itu dalam berbagai bentuk
misalnya menari, menabuh, membersihkan material persembahyangan, membawa
buah-buahan, menghaturkan bunga hingga menyediakan makanan Bali secara
sukarela.
Terus,
bagaimana feedback acara tersebut dari pengunjung ? Bukan pamer juga bukan
''ember'' tapi ini kenyataan dari feedback masyarakat
setempat yang saya baca dari komentar fans facebook Pairi Daiza tentang
perayaan Saraswati yang dipublikasikan tgl 27 April 2015 lalu membuktikan bahwa
antusias masyarakat Belgia sangat tinggi. Dalam hitungan sehari status Facebook
Pairi Daiza itu di share 520 kali dan
diberi jempol like oleh 2125 orang.
Komentarnya sangat positif mulai dari kata sanjung magnifique (luar biasa) hingga ungkapan sniff (mendengus kecewa ) ketika tidak bisa hadir karena ada acara
dihari itu juga.
Setelah
berakhirnya kegiatan perayaan Saraswati itu, seminggu kemudian langkah promosi
budaya selanjutnya adalah tgl 9 Mei 2015 di Kortemark dan tgl 10 Mei 2015 di
Gent, Belgia yang didukung kuat oleh istri dan ketiga anak saya tersayang.
Ada nilai positif yang saya dapatkan dengan keikutsertaan keluarga.
Bersama mereka saya bisa menikmati suasana lain, mengesksplore obyek wisata
sekaligus mengedukasi anak-anak betapa penting menanamkan budaya
Indonesia yang dikenal karena toleransinya untuk diteladani. Inilah kesempatan
emas buat saya, menghindari anak-anak kita agar tidak kecanduan Ipad, wii, xbox
360, PS, video game dan lain lain.
Tahukah
pembaca, dalam upaya mempromosi budaya Indonesia dibutuhkan networking yang baik. Jadi jangan pernah berpikir bahwa setiap event itu
selalu mendapatkan imbalan uang. Uang kadang-kadang membawa kesulitan. Pengalaman
pahit yang saya dapatkan, ketika saya baru 3 bulan di Belgia. Saya ditawarkan
mengajar gamelan ke Belanda. Saya tidak tahu berapa harus mendapat bayaran.
Iseng saya bertanya kepada seorang teman yang ''Sok Tahu'' dengan menyatakan
biaya mengajar itu harus mahal. Jumlahnya sekian, jangan mau dibohongin. Ini di
Eropa titik ! ujar dia dengan muka merah sambil berapi-api. Dasar memang saya
masih polos dan lugu, saya mengikuti sarannya dengan mematok harga. Ternyata
hanya sekali itu saja saya diminta mengajar gamelan ke Belanda. Sayangnya tidak
diundang lagi. Saya tahu dari pihak pengundang yang menyatakan saya terlalu mahal.
Hmm.. Kasihan dech gue ! sambil menyesali apa yang telah terjadi.
Sebenarnya
hati saya sangat malu bercampur bingung saat itu. Tapi setelah saya dalami
lebih jauh, saya menjadi mengerti keadaannya. Saya bertekad seperti
kehidupan saya sebelumnya di Bali dengan pesan ayah saya kepada anaknya
''seni yang terpatri dalam jiwamu itu, harus disebarkan dengan jiwamu
tulus'' (tulus disini
maksudnya jangan terlalu uang saja yang kamu pikirkan). Sambil mendesah saya
ingat pesan orangtua yang baik itu.
Tanpa
pikir panjang sambil mengingat pesan sang ayah, saya melangkah lagi tgl
16 Mei 2015 ke Cultureelhuis Heerlen, Belanda. Ditempat ini saya menampilkan
suling Bali dan kendang bersama grup band De Gentlemen’s Groove yang mengalunkan alunan suling
Bali Dwi Smara dan Shiwi lagu ciptaan sendiri. Pertunjukan
sukses dan mendapat applaus dari
penonton. Kemudian tgl 24 Mei 2015 di kota Mechelen Belgia saya
berpacu dengan waktu menampilkan suling Bali bersama grup band Belgia Selene's Garden, yang sedang merelease album terbaru mereka dalam bentuk CD
dimana saya memainkan suling dan kendang di album tersebut. (klik video: selene's garden dengan suling)
Kedua
event yang saya lakukan diatas yaitu suling Bali berkolaborasi dengan band
Belanda dan Belgia, berawal dari kemauan untuk mencari relasi yang baik. Relasi
atau networking itu akan memberi
kesempatan lain buat saya. Gayung bersambut dengan ketulusan itu pula saya
memperoleh tawaran main di beberapa kota di Eropa. Benar sekali, makna
dari pesan singkat orang tua di Bali bahwa ''kesempatan akan selalu ada karena
ketulusanmu''. Kesempatan datang lagi seminggu kemudian dengan mengikuti parade
ogoh-ogoh Bali, suling Bali kreatif dalam
Tong Tong Fair & Festival, Den
Haag tanggal 27 Mei 2015, (video: suling bali di Tong Tong Fair 2015) selanjutnya
Balinese Dagen Prananatha tgl 13 - 14
Juni 2015 di Wasmunster (video : Balinese dagen di waasmunster) , Perayaan Tumpek Wariga di
Parc Pairi Daiza tgl 20 Juni 2015 (video : tari Bali di Tumpek Wariga Pairi Daiza, dan suling bali dengan soprano saxophone ) serta
baru-baru ini memainkan rindik Bali selama 3 hari tgl 16 -18 Juni 2015 dalam
rangka The Nordic World of Coffee di Guthenburg Swedia.
(video : Rindik Bali di Swedia)
Apakah
benar kita tidak membutuhkan imbalan ? Belum tentu. Jujur saya katakan beberapa
event yang berskala komersial tentu membutuhkan dan mengeluarkan biaya. Kalau
berskala sosial misalnya untuk kemanusian dan berskala kecil tidak apalah,
masih kita bisa bantu. Jujur juga saya
katakan, kehidupan di Eropa ini semakin hari semakin berat. Sejak 2 tahun ini
saya tercekik oleh biaya asuransi kesehatan Belgia yang meruntuhkan semangat
saya. Apalagi menanggung ketiga anak
saya dan istri yang harus dikawal kehidupannya, harus dijamin kesehatannya,
harus ditanggung sekolahnya. Bergantung dari gaji bulanan saja di kantor saya
bekerja tidaklah mencukupi. Maka dari itu, ada sebuah jalan yang harus saya lalui. Jalan itu berupa perjuangan keras
dengan strategi tetap bertahan mempromosikan budaya Indonesia ke pelosok kota
di Eropa. Dengan harapan disamping menentramkan jiwa dan hati yang tercekik
dengan mahalnya asuransi kesehatan, perjuangan keras ini akan saya jadikan
pelajaran hidup paling berharga supaya kita
tidak mudah menyerah walaupun tantangan berat melilit sekujur tubuh kita.
Dan
salah satu upaya kongkrit dalam menghadapi tantangan itu, saya melakukan
promosi budaya Indonesia melalui chanel youtube dengan jumlah video 1603 clip,
1,070 Subcribers, dan jumlah vieuws/pengunjung
sebanyak 1. 357. 383 vieuws (Juni 2015). Jika pembaca meluangkan waktu
untuk melihat video saya dibawah ini, hati saya pasti sumringah karena menambah
daftar jumlah pengunjung dalam chanel video saya ini. (klik disini : video promosi Indonesia di Belgia)
dimuat di kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar