Pegok Sesetan
tetap membuat hati saya senang.
Kesal !
berkali-kali mencoba menyeberang jalan, tidak satupun kendaraan yang mau berhenti. Setiap detik
mobil dan motor berlalu-lalang menyemprot asap yang menusuk hidung. Suara
klakson Tiiit ! berbunyi memekakkan telinga. Bau knalpot sepeda motor beradu
dengan parfum para pengendaranya. Saya berhenti sejenak, mencari tempat penyeberangan lain agar bisa
lewat, sambil melirik rambu lalu lintas. ‘’Kene Gumin Cange Jani ! (Begini
daerahku sekarang). Pegok Sesetan sebagai tanah kelahiran, yang terletak di Denpasar Selatan ini sungguh
sangat amat berbeda ketika dibandingkan tahun 1980. Namun demikian sekesal-kesalnya saya, Pegok
Sesetan tetap saja membuat hati senang.
Pada
awal Juli 2016 di Denpasar Bali, suhu udara
menyengat, mengucurkan keringat pembawa resah dan gelisah. Ketiga anak
sayapun protes berat dengan suhu tersebut. Saya selalu berusaha meyakinkan
mereka bahwa Bali itu lebih baik dari negeri Belgia. Maksud hati tiada lain agar
lebih mencintai Bali Indonesia. Maklumlah mereka semua terlahir di Belgia, negeri
yang memberikan pertumbuhan fisik, pendidikan dan fasilitasi publik. Berbagai cara saya lakukan untuk mempengaruhi
dan menyenangkan hatinya agar mencintai Bali yang katanya dahulu kala sering disebut Paradise.
Mungkin
itulah fakta sekilas tentang apa yang saya alami di Pegok Sesetan dimana saya
dilahirkan. Penduduk pendatang benar-benar membanjiri segala lini kehidupan bahkan
jumlahnya telah melebihi penduduk asli. Kita sudah tidak mengenal satu sama
lain. Budaya menyapa dengan ucapan
santun, mulai terabaikan. Sedikit demi
sedikit budaya Bali mulai tersaingi. Sayang beribu sayang jika budaya Hindu
Bali yang penuh santun dan damai itu akan digerus pemikiran yang berorientasi serba
uang dan uang. Namun demikian, apapun
gambaran fakta tersebut, Pegok Sesetan akan
tetap membuat hati saya senang.
Romantisme matahari terbit
Pagi
itu tepat pukul 06.00 pagi, saya terbangun dari tempat tidur kamar hotel Inna
Sindhu Sanur beach. Kicau burung bersautan satu sama lain menjalin improvisasi
melodi. Nuansa pagi yang sejuk dan asri terasa kuat. Burung-burung
sepertinya mengingatkan saya untuk
segera menuju pesisir pantai sindhu. Lihatlah suasana pagi yang diidamkan
banyak orang ! Bali masih cantik dan tanpa polusi. Semakin saya mendekat semakin keras suara ombak
beriak menerjang gundukan pasir. Angin sepoi-sepoi
menghanyutkan jukung atau perahu kayu
milik para nelayan yang tertambat di bibir pantai. Sriaaattt ! Sriuuuttt ! bergoyang
mengikuti aliran ombak yang semakin membesar.
Disamping saya, duduk mesra sepasang
sejoli warga Eropa. Mereka menunggu detik-detik
terbitnya matahari pagi, bersiap menangkap momen munculnya sang surya. Dari kejauhan wajah Gunung Agung sebagai
gunung tertinggi di Bali tampak terbayang menjulang. Pelan-pelan namun pasti, Jreeng ! Berangsur-angsur matahari menyeruak jingga, menyinari
awan di ufuk timur jauh. Waoo, sungguh indah !
Kecupan demi kecupan terdengar. Aduh
! Kemesraan kedua sejoli menikmati dunia cinta mereka, seakan lupa ada saya
disampingnya. Pura pura tidak melihat ! Sayapun beranjak dengan kepura-puraan,
malu-malu, sambil melirik ngintip, tidak mau mengganggu percintaan mereka.
Momen cinta yang sangat indah, Cuiiittt ! Cuiiitttt ! Sambil menyolek pinggang
istri saya, yang duduk disamping kanan, sembari melantunkan lagu pop Bali era
tahun 70,-an ‘’ Nguda liman bli ne gudip sikun bli ne singgak-singguk ?
(terjemahannya : Kenapa tangan kakak nakal, siku tanganmu mencolek pinggangku ?
) Sangat romantis bukan ?
Hotel Inna Sindhu Sanur
Seandainya waktu masih mengijinkan
dan uang euro saya masih tersisa, saya akan tinggal lebih lama di hotel ini.
Suasana hotel yang asri, nyaman membuat rasa betah berlimpah. Pelayanan para
staf hotel yang senyumnya menempel 24 jam dan sangat professional, membujuk niat untuk kembali
menginap disini. Lokasi hotel yang berada di bibir pantai, menghanyutkan bathin
seakan berada ditengah kedamaian yang jauh dari hiruk pikuk suara motor dan
mobil.
Kamar hotel yang bersih, dengan
fasilitas standar international lengkap dengan bar, tv kabel, wifi serta kolam
renang outdoor yang dikelilingi
lanskap tanaman hijau. Disinilah, anak saya mulai menyatakan bahwa Bali itu ternyata lebih enak dari
Belgia. Kita bisa bermanja di hotel, berenang sesuka hati, makan sepuasnya di warung
pinggir pantai, menikmati jagung bakar, pokoknya serba ada dan murah.
Selama tiga hari tiga malam saya
memanjakan diri disini dengan harga khusus Rp 3 juta. Sarapan pagi yang dimulai
pukul 07.00-10.00 menawarkan berbagai hidangan eropa dan Indonesia. Sedangkan pada sore hari saya lebih suka menikmati
aneka minuman seperti kelapa muda segar, jus dan sebagainya. Lagi-lagi pelayanan ramah senyuman petugas Bar
yang begitu membujuk niat untuk kesini. Ramah banget !
Secara kebetulan saya bertemu dengan
Ibu Ayu Ariani, manager hotel Inna Sindhu Sanur. Ibu yang ramah dan penuh
semangat menyampaikan sekilas info tentang sejarah hotel ini. Hotel yang sudah
berdiri sejak jaman penjajahan Belanda sampai menjadi hotel milik pemerintah
Indonesia (BUMN) yang tergabung kedalam group hotel Inna. Pantesan juga para
tamunya kebanyakan Eropa, yang terdengar dalam percakapan bahasa Belanda
termasuk warga vlaams Belgia yang sedang menginap di hotel tersebut.
Mari peduli sampah plastik !
Bali sebagai pusat pariwisata di
Indonesia memiliki jumlah hotel, vila berlimpah ruah seperti kacang goreng
berserakan. Entahlah, bagaimana kondisi
itu bisa terjadi antara perang tarif, beradu keramahan, promosi murah meriah
hingga mahal tak terjangkau. Sudah barang tentu wisatawannya bervariasi dari
wisatawan yang suka ngutil membawa
pulang handuk hotel, wisatawan bersahaja dan wisatawan sok jadi raja. Mau tidak mau, suka tidak suka Bali
harus menanggung beban deritanya karena pariwisata telah merubah segalanya.
Ketika saya berlari pagi menyusuri
pantai Sanur dari ujung utara hingga selatan, saya tersentak dengan beberapa
bule yang memungut sampah plastik. Dengan membawa tas ransel mereka rela
memungut sampah plastik tersebut. Terlepas dari apa tujuannya, tapi itu sebuah
bentuk kepedulian mereka. Bagi mereka gelas plastik yang terhempas di pesisir
pantai harus dibersihkan, daripada
dimakan penyu atau ikan sekitarnya.
Kalau kita juga bersikap dan
bertindak seperti mereka, apa kata dunia ? Bali pasti tidak akan dibuli
habis-habisan. Di satu sisi, saya juga
melihat ibu-ibu lokal Bali dari dinas kebersihan pantai yang sedang aktif membersihkan
plastik tersebut. Kalau kita tidak bisa melakukan tindakan seperti mereka diatas,
tidak apa-apa. Ada cara lain yang
bersifat jangka panjang, yaitu pendidikan penanganan sampah kepada anak-anak
kita sejak usia dini. Soalnya pendidikan untuk dewasa biasanya masuk telinga
kanan keluar telinga kiri, alias berlalu saja. Kita menggantungkan harapan kepada anak-anak
muda, sembari menyampaikan betapa berbahayanya plastik untuk kelangsungan
kehidupan kita.
Abad ini adalah abad ke-21.
Peradaban manusia sudah berkembang sangat jauh. Kita masih jauh ketinggalan
ngurusin sampah. Bingung tidak ada jalan keluar. Warga asing sudah
mempersiapkan diri tinggal di Planet Mars. Pengaturan sampah sudah sangat
professional di negeri mereka. Truk sampah di Eropa memungut sampah setiap 2
kali seminggu di depan rumah. Plastik sampah dibedakan, seperti di kota Brussel
Belgia misalnya ; tas putih untuk sampah bio dapur, tas kuning untuk sampah
kertas, tas biru untuk plastik minuman, tas hijau untuk tumbuh-tumbuhan. Semuanya berjalan tanpa hambatan, tinggal
bayar pajak tahunan rumah tangga sebesar 89 euro semua beres.
Menikmati hidup dan tetap mengkritisi
Pegok Sesetan membuat hati saya senang karena
disana saya dilahirkan. Romantisme matahari terbit yang membawa kedamaian
disitu saya rasakan. Berlibur di hotel Inna Sindhu Sanur sebagai pilihan
keluarga tercinta serta perduli dengan sampah plastik merupakan empat pengalaman nyata yang saya lihat dan
alami sendiri. Pikiran yang penat dan
lelahnya jasmani mengharuskan kita meluang waktu untuk berlibur. Berlibur tidak perlu jauh yang penting
terjangkau dengan isi dompet kita. Hiduplah
yang wajar, semampunya dan dapat dinikmati. Apa yang kita lihat dan rasakan
selama berlibur akan terkenang selamanya.
Begitu pula dengan turis asing jika melihat plastik berserakan mereka
akan bercerita dan berbekas dihatinya. Nah, disinilah kita perlu mengkritisi
apa saja yang mengganggu kenyamanan lingkungan kita, agar menjadi bahan
evaluasi untuk perbaikan dimasa-masa yang akan datang. Yuk Berlibur sambil perduli lingkungan ! (made
agus wardana, tinggal di belgia)