Kehebatan negeri Belanda dalam memanfaatkan transportasi air sebagai salah satu
transportasi utama sejak abad ke-17 sudah tidak diragukan lagi. Transportasi kanal-kanal di seputar kota Amsterdam telah menggerakan
perekonomian Belanda hingga mencapai masa Golden Age sehingga
menjadi negara adi daya pada abad tersebut. Kemampuan mempertahankan dan
menjaga kelestarian keberadaan kanal-kanal tersebut membuahkan warisan
tak ternilai untuk generasi selanjutnya. Wajar saja, UNESCO memutuskan untuk
memasukan daerah-daerah cincin kanal abad ke-17 di Amsterdam ini kedalam daftar
warisan dunia UNESCO pada tahun 2010. Itulah sekelumit pikiran saya dalam
rangka melakukan perjalanan ke Amsterdam beberapa waktu lalu. Sebelum saya
lanjutkan cerita tentang kanal-kanal Amsterdam yang cantik, dibawah ini saya
ceritakan suasana perjalanan menuju kota Amterdam Belanda.
Berbekal tas ransel yang berisi bungkusan kue wingko babat buatan istri,
teh panas di dalam termos yang setia menemani perjalanan saya dari Stasiun
Brussel Central menuju Stasiun Amsterdam Central. Saya memilih train
inter city (IC) dengan harga 53 euro /pp dengan waktu tempuh hanya 3 jam lebih
16 menit. Train ini berangkat pukul 06.49 kemudian sempat berhenti
di stasiun Brussel Airport, Mechelen, Antwerpen, Rosendaal, Dordrecht,
Roterdam, Den Haag HS, Schipol Airport dan terakhir tiba pukul 10.00 di Stasiun
Amsterdam Central. Berada di gerbong kereta selama 3 jam, saya manfaatkan waktu tersebut
dengan membaca informasi tentang Amsterdam. Mencatat tempat yang mesti
dikunjungi, mengatur waktu dan jarak tempuh antara obyek yang satu dengan yang
lain. Obyek wisata yang tidak begitu jauh, saya akan tempuh dengan berjalan
kaki.
Saya terduduk lesu di gerbong
kelas 2, terganggu dengan suara kencang yang mengganggu penumpang
lainnya. Seorang penumpang cerewet bukan main, berbicara seenaknya tanpa
perduli disekitarnya. Suara keras melengking bernada keras dengan bahasa Belanda.
Dia lupa bahwa headset yang menempel dikuping sebagai penyebab ketidakpeduliannya terhadap
penumpang lain. Kuping yang gemerlap dengan anting-anting segede gajah
terlihat wah. Wajahnya kemerahan, dengan luapan emosi menghentak lawan bicara
di telpon. Saya persis dibelakangnya, sangat terusik dengan tingkah lakunya.
Dalam hati saya berkata dalam bahasa Bali, ‘’eh…Luh ! sing dadi gigisan
ngomel dini ? kaden luh gen ngelah tongosne dini, gedeg basang bline cubit
bangkiangne ! Ini adalah ungkapan bercanda saja dalam pikiran saya, kalau
diterjemahkan berarti begini : Eh Nona, tidak bisakah anda berbicara secara
pelan-pelan disini ? Anda pikir tempat ini untuk dirimu saja. Awas kalau saya
marah, saya bisa cubit pinggangmu, ‘’ Pasti pembaca kompastravel bertanya,
memangnya Bli berani mencubit wanita itu ? Tentu jawaban saya tidaklah. Karena
saya tahu kalau saya cubit berarti itu pelecehan dan saya bisa dicaci maki oleh
perempuan itu.
Sesaat kemudian, saya bertambah kesal dengan nada suara semakin
melengking. Saya bangun dan menghampirinya. Saya memanggil wanita itu
dengan sopan, ‘’Mohon maaf, suara anda sangat mengganggu ‘’.
Reaksinya kaget seperti orang kebelet pipis. Dia membuka headset di kuping,
langsung sadar, meminta maaf sambil tersenyum kecap manis. Sayapun tersenyum nyengir atas sikap yang sopan atas permintaan maaf tersebut. Alangkah damainya
kalau kita saling memaafkan, bukan ? Tidak perlu berantem jungkir balik , bikin
susah banyak orang saja hanya gara-gara persoalan kecil.
Tepat pukul 10.16 saya tiba di Amsterdam central stasiun. Pagi itu, suasana
tenang dengan para penumpang yang berlalu-lalang sibuk membawa koper dan
menuruni tangga lift menuju ke Hall stasiun Amsterdam. Di tengah hall stasiun,
para pedagang ramah melayani pembeli dengan aneka makanan dan minuman.
Selangkah kemudian orang-orang cipika-cipiki bertemu kerabat atau pacarnya
sambil bercium bebas sesuka hati. Asyik ! Berbahagialah mereka, cium mesra
tidak ada yang mengganggu. Silahkan ! Silahkan ! ini negeri yang penuh
toleransi. Belanda lho ! Negeri yang penuh kebebasan, tapi jangan salah negeri
yang bukan kebablasan. Negeri yang diatur oleh aturan-aturan yang melindungi
warganya
Tiga
kanal utama
Langit
Amsterdam sedikit demi sedikit terang. Mendung mulai kehilangan kekuasaan,
diganti oleh sinar matahari yang menyinari kota Amsterdam. Kuasa alam
tidak bisa ditolak begitu saja, hangatnya telah menyinari hati para turis
berdecak ria. Horeee matahari ! Mereka seakian-akan berlomba memilih tempat
wisata yang menarik. Merekam moment dengan smartphone, kemudian
dishare di media sosial. Ada yang live streaming meniru gaya para
reporter televisi. Adapula yang garuk-garuk kepala kehilangan dompet, antara
pasrah dan khawatir. Sekali-sekali rokok bau ganja terendus lewat, membuat
pusing kepala yang menghirupnya. Lag-lagi, ini adalah Amsterdam ya
! Terus, saya melangkah kearah barat menuju kawasan Jordaan, sebuah
distrik termasyur di Belanda. Kawasan khas di area kanal Amsterdam ini memiliki
banyak jalan centil dan sempit. Dari Jordaan ini saya menemukan ketiga kanal
utama yaitu Prinsengracht,
Herengraht dan Keizergraht.
Bagi saya orang belanda itu sangat kreatif. Kreatifitas itu terlihat dari
terciptanya transportasi air yang serba lengkap dan saling terkoneksi
satu sama lain. Tranportasi air yang
menggunakan kanal-kanal besar maupun kecil tertata rapi, dipelihara bersih
serta bermanfaat besar untuk warganya. Tidak ada yang membuang sampah
sembarangan, tidak ada pembiaran perilaku bodoh yang merusak kanal-kanal, tidak
ada pencemaran limbah rumah tangga sekalipun. Keberhasilan ini berkat
pendidikan masyarakatnya yang tahu membedakan mana yang baik dan buruk.
Sadarlah, bahwa kebersihan itu harus diajarkan sejak anak-anak masih usia
dini. Pahamilah, bahwa tindakan buruk dengan cara membuang sampah
ke kanal-kanal tersebut yang sudah pasti akan merugikan semua orang.
Di tepi ketiga kanal utama itu, dapat dijumpai beberapa obyek
wisata menarik seperti Museum Keju, Museum Tulip, Gereja tua Westerkerk
serta Rumah Anne Frank, seorang gadis yahudi umur 15 tahun yang menjadi korban
kekejaman Hitler. Setiap hari ratusan turis rela antri berjam jam untuk melihat
rumah tersebut.
Rumah Anne Frank terletak persis ditepi kanal Prinsengraht yang menjadi tempat
persembunyiannya keluarga Anne Frank ketika Hitler berkuasa di Jerman. Didalam
rumah ini ada sebuah pintu rahasia dimana keluarga tersebut bersembunyi. Anne
Frank dalam persembunyian tersebut menulis di buku harian yang menceritakan
kehidupannya selama dalam persembunyian tersebut. Karena adanya pengkhianatan,
keluarga Anne Frank berhasil diketahui oleh Nazi Jerman, yang selanjutnya
dikirim ke Kamp konsentrasi. Anne Frank meninggal dunia pada saat
umur 15 tahun. Adanya tulisan harian inilah menjadikan Anne Frank terkenal dan
diterbitkannya berbagai buku, film teater dan lain lain.
Sementara itu, ditepi tepi kanal ini juga terlihat cantik berjejer rumah
terapung yang menjadi tempat tinggal permanen bagi warga Belanda. Rumah
terapung ini layaknya rumah tinggal biasa dilengkapi dengan berbagai ruangan
kamar, tempat makan dsbnya. Kemudian ditempat ini pula, lintasan kapal wisata
air (tour canal Cruise) yang menelusuri sepanjang kanal tetap menjadi incaran
wisatawan untuk menikmati kecantikan kanal yang bersih, bersejarah dan
bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Para pembaca travelkompas
yang budiman, sambil menikmati white bir dengan keju, mari luangkan waktu untuk
menikmati keindahan kanal Amsterdam sambil minum di cafe pinggir kanal yang
cantik, indah dan menawan sepanjang masa.
(Penulis
: Made Agus Wardana, tinggal di Belgia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar