Salah satu seniman yang kirahnya
telah mendunia yang dimiliki oleh Kota Denpasar adalah I Made Wardana atau yang
akrab disapa Bli Ciaaattt. Ia merupakan sosok seniman asal Banjar Pegok Sesetan
Denpasar. Namanya akhir-akhir ini naik daun dikarenakan gamut yang ia ciptakan
menarik perhatian banyak kalangan. Gamut merupakan singkatan dari gamelan mulut,
yakni sebuah komposisi karawitan yang disajikan dengan suara mulut. Untuk
memainkannya, I Made Wardanat menggunakan bantuan teknologi berupa loopstation.
Dengan alat ini ia dapat me-record dan men-dubbing
potongan-potongan melodi dan ritme yang akan disusunnya menjadi komposisi utuh.
Gamut mulai viral di media sosial
sejak terjadinya pandemi covid-19. Lahir dari sebuah adaptasi seni di era
pandemi dan menjadi solusi untuk mengobati stres yang dialami bli ciaat ketika
itu. Ia mengalami stres akibat usaha restorannya tutup setelah setahun buka sejak
ia pulang dari Belgia tahun 2018. Akhirnya ia iseng membuat konten video
gamelan mulut yang berdurasi 1 menit yang ia sebar ke media sosial. Sontak
video itu mendapat apresiasi positif dari netizen. Ia merasa senang bahwa ada
peminat terhadap konten videonya itu. Akhirnya video ke dua kembali dibuat
dengan durasi yang lebih panjang. Bagai gayung bersambut, saat itu pemerintah
provinsi Bali sedang menyelenggarakan kegiatan pergelaran seni virtual untuk
membantu kehidupan seniman yang terkena dampak covid 19. Dan Bli Ciaat masuk
salah satu menjadi penyajinya.
Hingga saat ini, banyak komposisi gamut yang
telah dihadirkan oleh I Made Wardana. Beberapa diantaranya Gamut Man Kenyung,
Gamut New Normal, Gamut Angklung, Gamutromans, Gamut Traffic, Gamut Monster
Gamang, Gamut Suling, Gamut Dagang Sayur, Gamut Ayo Kreatif Mari Produktif dan
Gamutria.
Gamut
jika dicermati aspek konseptual adalah sebuah tiruan suara gamelan dan intrumen lainnya yang disajikan dengan
suara manusia, serta selanjutnya disusun menjadi komposisi lagu. Ini sepertinya
menjadi cara baru yang dilakukan oleh I Made Wardana dalam berkesenian di masa
pandemi. Ia menyatakan embrio musik gamut telah lahir pada tahun 2015 ketika ia
berada di aparteman tempat tinggalnya di Belgia. Secara tanpa sengaja ia
membuat konten gamelan mulut pada aplikasi garageband di ipad
punya anaknya. Selanjutnya ia posting di media sosial. Ia terkejut ada sesuatu
yang menarik dari hal tersebut dan muncul banyak komentar.
Sejak ia pulang ke Bali tahun 2018
akhir, I Made Wardana mendapat kesempatan untuk mengisi kegiatan pergelaran di
Pesta Kesenian Bali. Pergelaran ini merupakan pergelaran hasil rekonstruksi
gending-gending genggong kak danjur yang tiada lain adalah kakeknya sendiri.
Pada pergelaran itulah ia memasukkan salah satu konten pergelarannya yakni
gamelan mulut.
I Made Wardana dapat dikatakan
merupakan sosok seniman yang tidak saja kreatif namun juga tangguh. Dalam
dirinya mengalir karakter manusia Bali yang kini telah banyak memudar. Jengah
(bersemangat), gelitik (menemukan cara-cara baru), tindih (kokoh
menjaga jadi diri), adalah karakter yang dimilikinya. Ia tidak kaku terhadap
budayanya, namun senantiasa melihat apa yang ada di depannya sebagai cara untuk
melahirkan gagasan baru. Ciiaat adalah sebuat kata yang ia sematkan menjadi
mottonya. Ciiaat adalah kata yang bermakna respon enerjik untuk melakukan
sesuatu. Tentu banyak hal yang dapat diamati dan diapresiasi dari I Mde
Wardana. Bagaimanakan prosesnya menjadi seniman?, apa saja pengalaman
berkesenian yang telah ia lalui?, dan apa saja penghargaan yang telah pernah ia
raih menjadi menarik untuk diketahui.
I Made Wardana lahir pada tanggal 25
November 1971 dari pasangan I Wayan Randug (ayah) dan Ni Wayan Kondri (ibu),
serta adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Ia tumbuh di lingkungan
keluarga seniman. Kakek dan ayahnya adalah seniman karawitan, dan ibunya adalah
penari arja. Demikian pula dengan saudara-saudaranya yang juga merupakan penari
dan penabuh.
Sejak berusia 5 tahun, ia telah
memiliki ketertarikan terhadap dunia seni. Ketertarikannya itu ia tumpahkan
dengan belajar memainkan gamelan dari ayah dan kakaknya. Baginya seni merupakan
sebuah kebanggan dan berkah karena membuatnya menjadi pusat perhatian banyak
orang. Waktu itu, ia menjadi satu-satunya penabuh gamelan cilik yang ikut
pentas bersama sekaa gong banjarnya dalam sebuah pergelaran di pura desa.
Seiring berjalannya waktu, I Made
Wardana terus menempa bakatnya untuk menjadi seorang penabuh gamelan Bali. Ia
menempa bakatnya dengan cara belajar gamelan Gong Kebyar di banjar Pegok. Tahap
demi tahap, satu demi satu intrumen gamelan Gong Kebyar ia pelajari dengan
baik. Ia dilatih oleh guru-guru terbaik yakni Pak Kale, Pak Rintig, dan Pak
Rundu dari banjar Geladag Denpasar, juga Pak Rembang dari banjar Tengah
Sesetan.
Selain mempelajari gamelan Gong
Kebyar, I Made Wardana juga mempelajari gending-gending dan tabuh Janger Banjar
Pegok. Ia diajarkan oleh ayah dan ibunya yang juga merupakan penabuh dan penari
janger. Sebagaimana diketahui bahwa banjar Pegok memiliki kesenian Janger
sakral yang telah di warisi secara turun temurun. Adanya warisan budaya inilah
membuat I Made Wardana juga harus mempelajarinya dalam rangka menjaga
kelestarian dan keberlanjutan generasi kesenian janger tersebut.
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar,
ia juga mempelajari memainkan gamelan rindik. Menurutnya, saat itu memainkan
rindik merupakan sesuatu yang susah dan jarang dilakukan oleh anak-anak. Ia
diajarkan oleh kakaknya I Made Arjana. Walau diajar dengan sangat keras oleh sang
kakak, namun tidak menyurutkan niatnya untuk belajar sampai bisa.
Pengalaman berkesenian I Made
Wardana semakin meningkat saat ia duduk di bangku SMP. Ketika itu ia
mendapatkan kesempatan ikut dalam ajang lomba Pekan Seni Remaja yang
diselenggarakan oleh Kota Denpasar. Alhasil ia sering mendapatkan juara pada
setiap perlombaan yang ia ikuti. Sempat ada tokoh seniman Kota Denpasar yakni I
Nyoman Suarsa yang akrab disapa Pak Man Yangpung melirik potensinya sebagai
pemain kendang. Hal ini membuatnya semakin bangga dengan kemampuan yang ia
miliki.
Karena kecintaannya dengan gamelan
Bali, setelah lulus SMP I Made Wardana berniat
melanjutkan studinya di KOKAR Bali. Namun, karena pertimbangan biaya dan
jarak yang harus ditempuhnya terlalu jauh dari rumahnya, maka ia lebih memilih
untuk melanjutkan studinya di SMA Negeri 5 Denpasar. Pada masa inilah ia
bersama grup sekolahnya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kejuaraan
Baleganjur di Gianyar dan berasil memperoleh juara 1. Lebih dari itu, atas
ajakan Pak Rundu, I Made Wardana juga tidak menyangka mendapatkan kesempatan
untuk ikut bergabung bersama Sekaa Gong Banjar Pemebetan Kapal menjadi penabuh
Gong Kebyar duta kabupaten Badung dalam Pesta Kesenian Bali tahun 1988.
Kebanggannya kembali muncul tatkala mendapat pengalaman diajar oleh para pakar
gamelan Bali seperti I Wayan Suweca, I Ketut Gede Asnawa, I Komang Astita, dan
I Ketut Wijana.
Setelah tamat SMA, I Made Wardana
memantapkan keinginannya untuk melanjutkan studinya di STSI Denpasar tahun
1990. Ia mengambil jurusan karawitan. Pendidikan yang selaras dengan hobi
sekaligus bakatnya membuatnya tidak pernah ada kata bosan untuk berkesenian.
Sejak kuliah di STSI Denpasar berbagai kegiatan ia ikuti. Bersama kampusnya ia
mengikuti berbagai misi kesenian ke luar daerah seperti Jakarta, Padang Sumatra
Barat, bahkan ke India 1993, 1994 ke Jerman, Belgia, dan Luksemburg.
Di tahun 1994 pula ia mulai
mendapatkan kesempatan mendedikasikan kemampuannya kepada Kota Denpasar. Dua
hal pengalaman penting yang ia catat sebagai ruang aktualisasi diri adalah menjadi peserta lomba kendang tari jauk manis
mewakili Kota Denpasar dan menjadi pembina Gong Kebyar Wanita Kota Denpasar
dalam perhelatan Pesta Kesenian Bali. Baginya, menjadi peserta lomba kendang
itu sangat bergengsi. Sebab, di kampusnya ia sedikit mendapatkan kesempatan
untuk menunjukkan kemampuannya memainkan kendang. Ia merasa jengah untuk
menunjukkan kemampuannya menjadi yang terbaik. Hasilnya ia berasil mendapatkan
juara 1 pada perlombaan tersebut.
I Made Wardana tidak hanya pintar
dalam memainkan gamelan. Semenjak menjadi mahasiswa karawitan di STSI Denpasar,
hampir setiap tahun ia mendapatkan ruang untuk membantu membuatkan komposisi
tabuh untuk kakak kelasnya yang akan menjalani ujian Tugas Akhir. Setidaknya ia
mencatat ada empat karya iringan tari dan satu karya kontemporer yang pernah
digarapnya. Dosen paforitnya adalah I Made Lemping. Dari Pak Lemping ia banyak
mendapatkan pengetahuan tambahan di luar kelas, seperti mekendang, dan suling
pegambuhan. I Made Wardana lulus di STSI tahun 1995. Sebagai karya tugas akhir
(TA) ia menggarap komposisi iringan tari dengan judul ”Sangguh”. Sangguh ini
adalah sebuah karya yang mengisahkan roman seorang putri dari kerajaan
Pemecutan yang bernama Raden Ayu Siti Khotijah, yang sebelumnya bernama Gusti Ayu Made Rai menjadi seorang muslim. Iringan tari ini
digarap menggunakan barungan gamelan Gong Gede serta dikemas dengan memasukkan
nuansa lagu-lagu muslim.
Setelah tamat dari STSI Denpasar, I
Made Agus Wardana masih aktif berkegiatan di kampusnya. Bulan september 1995
ditawari dan direkomendasikan oleh Prof. I Made Bandem untuk guru gamelan di
sekolah musik di Konservatorium di Brusel, Belgia. 8 januari 1996 ia berangkat
ke Brusel. Di sinilah I Made Wardana mengalami kehidupan baru sebagai seorang
seniman dan pengajar gamelan. Tantangan demi tantangan ia hadapi tanpa lelah
dan ragu. Mulai dari cuaca dingin, suasana yang berbeda dari Bali, bahasa yang
berbeda, dan lain-lainnya membuat membuat jiwanya semakin kokoh. Selain mengajar,
ia juga membentuk sanggar dan grup gamelan di tempatnya mengajar, membentuk
grup gamelan dengan orang-orang belgia bernama grup Saling Asah, kemudian juga
membentuk grup gamelan di KBRI.
Kehadiran I Made Wardana di Belgia
memberikan angin segar terhadap kehidupan budaya Bali di Belgia. Ia tidak saja
berasil mengembangkan gamelan, namun juga mempelopori pembangunan pura di
Belgia. Ia juga membuat perkumpulan/banjar bernama Santhi Dharma untuk
orang-orang Bali yang ada disana sekaligus menjadi kelihan banjarnya. Sejak
tahun 1996, I Made Wardana telah menghabiskan waktu selama dua puluh dua tahun
di Belgia. Ia telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan gamelan Bali ke
ranah internasional. Hampir di seluruh kota di Eropa pernah ia kunjungi untuk
menjadi pengajar gamelan dan mempertunjukkan kesenian Bali.
Tahun 2018, bulan september ia
pulang ke Bali. Setelah di Bali ia merekonstruksi genggong Pegok yang menjadi
kesenian warisan kakeknya yang bernama I Ketut Regen atau yang sering dipanggil
Kak Danjur. Melalui program kegiatan Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Hasil
rekonstruksi ini berasil dipentaskan pada kegiatan pergelaran Pesta Kesenian
Bali tahun 2019. Untuk melestarikan kesenian genggong yang ada di Pegok, ia
juga membentuk sanggar dengan nama Sanggar Genggong Kak Danjur. (Qakdanjur)
Perjalanan panjang pengabdian I Made
Wardana dalam jagad seni adalah sebuah bukti bahwa ia konsisten untuk
melestarikan kesenian warisan leluhurnya. Dari rekam jejak pengabdiannya,
sejumlah penghargaan dan prestasi telah ia terima. Beberapa diantaranya yaitu:
tahun 1993
ia menerima penghargaan Indonesian Dance Festival IKJ Jakarta dan Penghargaan
Festival Seni mahasiswa Pada Panjang - Sumatra Barat; tahun 1994 ia menerima
penghargaan penghargaan Juara 1 Kendang Jauk Manis Duta Kodya Denpasar pada
ajang Pesta Kesenian Bali, serta penghargaan sebagai pembina tabuh Kodya
Denpasar Pesta Kesenian Bali. Tahun 1995 ia kembali menerima penghargaan
sebagai pembina tabuh Kodya Denpasar dalam ajang Pesta Kesenian Bali; Tahun
2008 ia menerima penghargaan sebagai pegawai terbaik KBRI Brussel; Tahun 2022 ia meneria penghargaan 22 tahun di KBRI
Brussel Belgia; dan di tahun 2023 ia menerima penghargaan sebagai Juri
Baleganjur Pesta Kesenian Bali.
.jpeg)