Kamis, 25 Desember 2025

I Made Wardana seniman Gamut yang mendunia

 




            Salah satu seniman yang kirahnya telah mendunia yang dimiliki oleh Kota Denpasar adalah I Made Wardana atau yang akrab disapa Bli Ciaaattt. Ia merupakan sosok seniman asal Banjar Pegok Sesetan Denpasar. Namanya akhir-akhir ini naik daun dikarenakan gamut yang ia ciptakan menarik perhatian banyak kalangan. Gamut merupakan singkatan dari gamelan mulut, yakni sebuah komposisi karawitan yang disajikan dengan suara mulut. Untuk memainkannya, I Made Wardanat menggunakan bantuan teknologi berupa loopstation. Dengan alat ini ia dapat me-record dan men-dubbing potongan-potongan melodi dan ritme yang akan disusunnya menjadi komposisi utuh.

            Gamut mulai viral di media sosial sejak terjadinya pandemi covid-19. Lahir dari sebuah adaptasi seni di era pandemi dan menjadi solusi untuk mengobati stres yang dialami bli ciaat ketika itu. Ia mengalami stres akibat usaha restorannya tutup setelah setahun buka sejak ia pulang dari Belgia tahun 2018. Akhirnya ia iseng membuat konten video gamelan mulut yang berdurasi 1 menit yang ia sebar ke media sosial. Sontak video itu mendapat apresiasi positif dari netizen. Ia merasa senang bahwa ada peminat terhadap konten videonya itu. Akhirnya video ke dua kembali dibuat dengan durasi yang lebih panjang. Bagai gayung bersambut, saat itu pemerintah provinsi Bali sedang menyelenggarakan kegiatan pergelaran seni virtual untuk membantu kehidupan seniman yang terkena dampak covid 19. Dan Bli Ciaat masuk salah satu menjadi penyajinya.

                Hingga saat ini, banyak komposisi gamut yang telah dihadirkan oleh I Made Wardana. Beberapa diantaranya Gamut Man Kenyung, Gamut New Normal, Gamut Angklung, Gamutromans, Gamut Traffic, Gamut Monster Gamang, Gamut Suling, Gamut Dagang Sayur, Gamut Ayo Kreatif Mari Produktif dan Gamutria.

            Gamut jika dicermati aspek konseptual adalah sebuah tiruan suara gamelan dan intrumen lainnya yang disajikan dengan suara manusia, serta selanjutnya disusun menjadi komposisi lagu. Ini sepertinya menjadi cara baru yang dilakukan oleh I Made Wardana dalam berkesenian di masa pandemi. Ia menyatakan embrio musik gamut telah lahir pada tahun 2015 ketika ia berada di aparteman tempat tinggalnya di Belgia. Secara tanpa sengaja ia membuat konten gamelan mulut pada aplikasi garageband di ipad punya anaknya. Selanjutnya ia posting di media sosial. Ia terkejut ada sesuatu yang menarik dari hal tersebut dan muncul banyak komentar.

            Sejak ia pulang ke Bali tahun 2018 akhir, I Made Wardana mendapat kesempatan untuk mengisi kegiatan pergelaran di Pesta Kesenian Bali. Pergelaran ini merupakan pergelaran hasil rekonstruksi gending-gending genggong kak danjur yang tiada lain adalah kakeknya sendiri. Pada pergelaran itulah ia memasukkan salah satu konten pergelarannya yakni gamelan mulut.

            I Made Wardana dapat dikatakan merupakan sosok seniman yang tidak saja kreatif namun juga tangguh. Dalam dirinya mengalir karakter manusia Bali yang kini telah banyak memudar. Jengah (bersemangat), gelitik (menemukan cara-cara baru), tindih (kokoh menjaga jadi diri), adalah karakter yang dimilikinya. Ia tidak kaku terhadap budayanya, namun senantiasa melihat apa yang ada di depannya sebagai cara untuk melahirkan gagasan baru. Ciiaat adalah sebuat kata yang ia sematkan menjadi mottonya. Ciiaat adalah kata yang bermakna respon enerjik untuk melakukan sesuatu. Tentu banyak hal yang dapat diamati dan diapresiasi dari I Mde Wardana. Bagaimanakan prosesnya menjadi seniman?, apa saja pengalaman berkesenian yang telah ia lalui?, dan apa saja penghargaan yang telah pernah ia raih menjadi menarik untuk diketahui.

            I Made Wardana lahir pada tanggal 25 November 1971 dari pasangan I Wayan Randug (ayah) dan Ni Wayan Kondri (ibu), serta adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Ia tumbuh di lingkungan keluarga seniman. Kakek dan ayahnya adalah seniman karawitan, dan ibunya adalah penari arja. Demikian pula dengan saudara-saudaranya yang juga merupakan penari dan penabuh.

            Sejak berusia 5 tahun, ia telah memiliki ketertarikan terhadap dunia seni. Ketertarikannya itu ia tumpahkan dengan belajar memainkan gamelan dari ayah dan kakaknya. Baginya seni merupakan sebuah kebanggan dan berkah karena membuatnya menjadi pusat perhatian banyak orang. Waktu itu, ia menjadi satu-satunya penabuh gamelan cilik yang ikut pentas bersama sekaa gong banjarnya dalam sebuah pergelaran di pura desa.

            Seiring berjalannya waktu, I Made Wardana terus menempa bakatnya untuk menjadi seorang penabuh gamelan Bali. Ia menempa bakatnya dengan cara belajar gamelan Gong Kebyar di banjar Pegok. Tahap demi tahap, satu demi satu intrumen gamelan Gong Kebyar ia pelajari dengan baik. Ia dilatih oleh guru-guru terbaik yakni Pak Kale, Pak Rintig, dan Pak Rundu dari banjar Geladag Denpasar, juga Pak Rembang dari banjar Tengah Sesetan.

            Selain mempelajari gamelan Gong Kebyar, I Made Wardana juga mempelajari gending-gending dan tabuh Janger Banjar Pegok. Ia diajarkan oleh ayah dan ibunya yang juga merupakan penabuh dan penari janger. Sebagaimana diketahui bahwa banjar Pegok memiliki kesenian Janger sakral yang telah di warisi secara turun temurun. Adanya warisan budaya inilah membuat I Made Wardana juga harus mempelajarinya dalam rangka menjaga kelestarian dan keberlanjutan generasi kesenian janger tersebut.

            Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, ia juga mempelajari memainkan gamelan rindik. Menurutnya, saat itu memainkan rindik merupakan sesuatu yang susah dan jarang dilakukan oleh anak-anak. Ia diajarkan oleh kakaknya I Made Arjana. Walau diajar dengan sangat keras oleh sang kakak, namun tidak menyurutkan niatnya untuk belajar sampai bisa.

            Pengalaman berkesenian I Made Wardana semakin meningkat saat ia duduk di bangku SMP. Ketika itu ia mendapatkan kesempatan ikut dalam ajang lomba Pekan Seni Remaja yang diselenggarakan oleh Kota Denpasar. Alhasil ia sering mendapatkan juara pada setiap perlombaan yang ia ikuti. Sempat ada tokoh seniman Kota Denpasar yakni I Nyoman Suarsa yang akrab disapa Pak Man Yangpung melirik potensinya sebagai pemain kendang. Hal ini membuatnya semakin bangga dengan kemampuan yang ia miliki.

            Karena kecintaannya dengan gamelan Bali, setelah lulus SMP I Made Wardana berniat  melanjutkan studinya di KOKAR Bali. Namun, karena pertimbangan biaya dan jarak yang harus ditempuhnya terlalu jauh dari rumahnya, maka ia lebih memilih untuk melanjutkan studinya di SMA Negeri 5 Denpasar. Pada masa inilah ia bersama grup sekolahnya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kejuaraan Baleganjur di Gianyar dan berasil memperoleh juara 1. Lebih dari itu, atas ajakan Pak Rundu, I Made Wardana juga tidak menyangka mendapatkan kesempatan untuk ikut bergabung bersama Sekaa Gong Banjar Pemebetan Kapal menjadi penabuh Gong Kebyar duta kabupaten Badung dalam Pesta Kesenian Bali tahun 1988. Kebanggannya kembali muncul tatkala mendapat pengalaman diajar oleh para pakar gamelan Bali seperti I Wayan Suweca, I Ketut Gede Asnawa, I Komang Astita, dan I Ketut Wijana.

            Setelah tamat SMA, I Made Wardana memantapkan keinginannya untuk melanjutkan studinya di STSI Denpasar tahun 1990. Ia mengambil jurusan karawitan. Pendidikan yang selaras dengan hobi sekaligus bakatnya membuatnya tidak pernah ada kata bosan untuk berkesenian. Sejak kuliah di STSI Denpasar berbagai kegiatan ia ikuti. Bersama kampusnya ia mengikuti berbagai misi kesenian ke luar daerah seperti Jakarta, Padang Sumatra Barat, bahkan ke India 1993, 1994 ke Jerman, Belgia, dan Luksemburg.

            Di tahun 1994 pula ia mulai mendapatkan kesempatan mendedikasikan kemampuannya kepada Kota Denpasar. Dua hal pengalaman penting yang ia catat sebagai ruang aktualisasi diri adalah  menjadi peserta lomba kendang tari jauk manis mewakili Kota Denpasar dan menjadi pembina Gong Kebyar Wanita Kota Denpasar dalam perhelatan Pesta Kesenian Bali. Baginya, menjadi peserta lomba kendang itu sangat bergengsi. Sebab, di kampusnya ia sedikit mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya memainkan kendang. Ia merasa jengah untuk menunjukkan kemampuannya menjadi yang terbaik. Hasilnya ia berasil mendapatkan juara 1 pada perlombaan tersebut.

            I Made Wardana tidak hanya pintar dalam memainkan gamelan. Semenjak menjadi mahasiswa karawitan di STSI Denpasar, hampir setiap tahun ia mendapatkan ruang untuk membantu membuatkan komposisi tabuh untuk kakak kelasnya yang akan menjalani ujian Tugas Akhir. Setidaknya ia mencatat ada empat karya iringan tari dan satu karya kontemporer yang pernah digarapnya. Dosen paforitnya adalah I Made Lemping. Dari Pak Lemping ia banyak mendapatkan pengetahuan tambahan di luar kelas, seperti mekendang, dan suling pegambuhan. I Made Wardana lulus di STSI tahun 1995. Sebagai karya tugas akhir (TA) ia menggarap komposisi iringan tari dengan judul ”Sangguh”. Sangguh ini adalah sebuah karya yang mengisahkan roman seorang putri dari kerajaan Pemecutan yang bernama Raden Ayu Siti Khotijah, yang sebelumnya bernama Gusti Ayu Made Rai menjadi seorang muslim. Iringan tari ini digarap menggunakan barungan gamelan Gong Gede serta dikemas dengan memasukkan nuansa lagu-lagu muslim.

            Setelah tamat dari STSI Denpasar, I Made Agus Wardana masih aktif berkegiatan di kampusnya. Bulan september 1995 ditawari dan direkomendasikan oleh Prof. I Made Bandem untuk guru gamelan di sekolah musik di Konservatorium di Brusel, Belgia. 8 januari 1996 ia berangkat ke Brusel. Di sinilah I Made Wardana mengalami kehidupan baru sebagai seorang seniman dan pengajar gamelan. Tantangan demi tantangan ia hadapi tanpa lelah dan ragu. Mulai dari cuaca dingin, suasana yang berbeda dari Bali, bahasa yang berbeda, dan lain-lainnya membuat membuat jiwanya semakin kokoh. Selain mengajar, ia juga membentuk sanggar dan grup gamelan di tempatnya mengajar, membentuk grup gamelan dengan orang-orang belgia bernama grup Saling Asah, kemudian juga membentuk grup gamelan di KBRI.

            Kehadiran I Made Wardana di Belgia memberikan angin segar terhadap kehidupan budaya Bali di Belgia. Ia tidak saja berasil mengembangkan gamelan, namun juga mempelopori pembangunan pura di Belgia. Ia juga membuat perkumpulan/banjar bernama Santhi Dharma untuk orang-orang Bali yang ada disana sekaligus menjadi kelihan banjarnya. Sejak tahun 1996, I Made Wardana telah menghabiskan waktu selama dua puluh dua tahun di Belgia. Ia telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan gamelan Bali ke ranah internasional. Hampir di seluruh kota di Eropa pernah ia kunjungi untuk menjadi pengajar gamelan dan mempertunjukkan kesenian Bali.

            Tahun 2018, bulan september ia pulang ke Bali. Setelah di Bali ia merekonstruksi genggong Pegok yang menjadi kesenian warisan kakeknya yang bernama I Ketut Regen atau yang sering dipanggil Kak Danjur. Melalui program kegiatan Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Hasil rekonstruksi ini berasil dipentaskan pada kegiatan pergelaran Pesta Kesenian Bali tahun 2019. Untuk melestarikan kesenian genggong yang ada di Pegok, ia juga membentuk sanggar dengan nama Sanggar  Genggong Kak Danjur. (Qakdanjur)

            Perjalanan panjang pengabdian I Made Wardana dalam jagad seni adalah sebuah bukti bahwa ia konsisten untuk melestarikan kesenian warisan leluhurnya. Dari rekam jejak pengabdiannya, sejumlah penghargaan dan prestasi telah ia terima. Beberapa diantaranya yaitu: tahun 1993 ia menerima penghargaan Indonesian Dance Festival IKJ Jakarta dan Penghargaan Festival Seni mahasiswa Pada Panjang - Sumatra Barat; tahun 1994 ia menerima penghargaan penghargaan Juara 1 Kendang Jauk Manis Duta Kodya Denpasar pada ajang Pesta Kesenian Bali, serta penghargaan sebagai pembina tabuh Kodya Denpasar Pesta Kesenian Bali. Tahun 1995 ia kembali menerima penghargaan sebagai pembina tabuh Kodya Denpasar dalam ajang Pesta Kesenian Bali; Tahun 2008 ia menerima penghargaan sebagai pegawai terbaik KBRI Brussel; Tahun  2022 ia meneria penghargaan 22 tahun di KBRI Brussel Belgia; dan di tahun 2023 ia menerima penghargaan sebagai Juri Baleganjur Pesta Kesenian Bali.