Senin, 28 Februari 2022

Esensi Legong Kembang Ura, benarkah membuat rakyatnya sejahtera ?

 Pantuan Parade Palegongan Denpasar 2022.


Esensi Legong Kembang Ura, benarkah membuat rakyatnya sejahtera ?

"Keinginan untuk melihat parade palegongan dengan nuansa yang berbeda belum juga saya temui, padahal dari pukul 16.00 duduk dikursi empuk Gedung Taksu DNA sembari mengintp sajian 3 Sekehe Palegongan , Kamis 24 Februari 2022. " Tapi....diakhir sesi ketiga ada yang lain .....



Saya terlelap dalam masa silam ditahun 30 an, suara gamelan palegongan mempesona. Bunyi jujur, manis, enak didengar, terasa alami tempo doeloe yang mengheningkan jiwa dan raga. Gending gending petegak klasik karya maestro Lotring dan Geria mengajak kita untuk setia melantunkan keaslian palegongan. Namun, saya terusik dan tersentak dengan kerasnya suara speaker dimana microfon terpajang diantara instruments yang ada. Aduh !

"Suara speaker terlalu keras ! Seharusnya tidak perlu menggunakan microfon, karena akustik gedung ini lumayan lah ".  Itulah obrolan saya dengan Gabriel Laufer warga Belgia yang juga hadir dalam parade Palegongan ini.  Saya intip dari kejauhan  rupa-rupanya volume  microfon kurang terkontrol dengan baik. Suara gangsa menukik  kuping membuat  pendengaran kurang nyaman.  Ini terjadi pada sekehe yang bermain di sebelah selatan panggung. Ah, sangat disayangkan ! 

Terus, lampu yang ada diantara penonton kenapa harus diterangkan ?  Semestinya diredupkan, agar fokus penonton menjadi sempurna ke panggung pertunjukan. Barangkali hal sekecil ini kurang mendapat perhatian alias dianggap sepele. Bukankah gedung ini super modern dengan penataan cahaya/lighting yang  jitu ?


Pertunjukan


perdana ditabuhkan oleh Sekehe Palegongan Lestari Budaya Br. Meranggi Kesiman yang menampilkan tabuh dan tari legong lasem,  kemudian Sekehe Palegongan Merdu Komala, Banjar Binoh Kelod menampilkan Jobog, terus Sekehe Palegongan Pura Luhur Kanda Pat Sari, Banjar Pondok Peguyangan menampilkan Kuntul, selanjutnya Sekehe Palegongan Banjar Kaja Sesetan menampilkan Legong kreasi Puputan, sementara itu  Sekehe Palegongan Bandhana Eka  Pura Tambangan Badung Pemecutan menampilkan Legong Bandhojayadi dan terakhir Sekehe Palegongan Bandhana Sidhi Gurnita Desa Adat Sidakarya menampilkan karya baru yaitu Legong Kembang Ura.

Perhatian saya sangat tergoda dengan legong kembang ura dari Sidekarya ini. Legong baru karya koreografer muda  berbakat Putu Parama Kesawa. Ada polesan vintage dalam kostum, ekspresi nyebeng seperti dalam potrait penari era kolonial,  bentuk gerak dalam legong kuno, serta gerak 'ngengsog' yang sengaja didiamkan untuk memberi kesan tegas. Sungguh ini yang saya cari, sebuah pengembangan legong yang menggunakan gerak tradisi kuno. Make up wajah penari sangat baik, tidak tebal dan terlihat wajah alami yang cantik tanpa filter 

Namun demikian, pujian saya tidak akan berlebihan, karena ada hal-hal yang kurang pas dihati saya. Penggunaan kostum kurang menarik terutama dibagian kepala bertaburan bunga yang sangat berlebihan seperti penari gandrung. Warna kostum tampak kusam bergaya vintage berasa sisye calonarang. Kalau vintage dengan warna kostum legong kuno barangkali pas dilihat. 



Setelah pertunjukan usai, saya bertemu dengan Parama Kesawa untuk  mengapresiasi garapannya. Kesa sangat positif menerima kritikan. Inilah seniman muda zaman milenial yang siap dan lapang dada menerima segala masukan. 

Menurut  Kesa,  Legong Kembang Ura menterjemahkan esensi kembang ura yang terdapat dalam tari topeng Sidekarya. Dalam pertunjukan topeng Sidekarya kita sering melihat " penaburan bunga, pis bolong, dan beras. Kembang Ura adalah simbol kedermawanan Ida Dalem Sidekarya yang ingin rakyatnya sejahtera. 

Dalam pikiran saya, ura berasal dari meUra ( bertaburan) dalam arti positif yaitu taburan bunga yang mensejahterakan. Dalam konteks cerita ini, wujud taburan berupa bunga, pis bolong dan beras tidak nampak jelas dalam gerak,  padahal  Dalem Sidekarya adalah figur kuat dalam sinopsis yang diceritakan. 

Sementara itu, penataan tabuh terasa romantik dengan sentuhan ngumbang isep dalam setiap gerakan. Walau masih terkesan gending palegongan klasik, yang mana melodi, struktur, komposisinya seperti pada palegongan pada umumnya. Sejujurnya saya ingin gending yang lebih asyik dan unik sebagai identitas kembang ura. Berulang- ulang saya saksikan lagi di youtube tetap saja, belum nempel dipendengaran saya. Jangan khawatir bro  ! Tentulah saya apresiasi tinggi karya tabuh dari I Made Andita ini yang selalu kreatif berkarya dalam setiap Pesta Kesenian Bali setiap tahun.



Parade palegongan yang bertajuk "revitalisasi dan pengembangan berbasis tradisi" yang dikoordinir oleh Dinas Kebudayaan Denpasar ini adalah langkah nyata pemajuan Kebudayaan Bali ditengah mandeknya penghasilan dan kesejahteraan para "seniman swasta" yaitu seniman tanpa penghasilan bulanan. Berbeda dengan seniman yang sekaligus menjadi pns/asn hidupnya lebih terjamin dalam masa pandemi ini.

 Siapa lagi yang akan membantu para "seniman swasta" ini ? Kasihan mereka. Apakah para seniman swasta yang tanpa penghasilan ini, mendapat jatah pentas ? Kita perlu peka terhadap seniman swasta ini, pemerintah  harus jujur melakukan pemerataan kesejahteraan untuk para seniman swasta yang terdampak hancur pada masa pandemi. Memajukan peradaban kebudayaan bukan saja kita memperbanyak kwantitas event yang penuh glamour saja, akan tetapi kepedulian  pemerintah akan kesejahteraan seniman swasta yang harus mendapat perhatian lebih terutama para seniman tua yang uzur dan terlupakan. 

Nah, Semoga saja tari legong kembang ura ini dapat menggugah hati para pemegang kebijakan agar benar-benar bisa mensejahterakan rakyatnya, terutama para seniman swasta yang basah dalam karya tapi kering dalam penghasilan. Ciaaattt !


"Made Agus Wardana"

Senin, 21 Februari 2022

Menerima kritikan Positif, Akhirnya ST Widya Bhakti Pegok Juara



Ini adalah generasi tangguh. Anak-anak muda yang tergabung dalam ST Widya Bhakti Pegok berjuang hebat dengan disiplin kuat berhasil menoreh sejarah. 
Sekehe Truna Widya Bhakti Br. Pegok Sesetan memperoleh juara 2 dalam lomba Baleganjur dalam rangka HUT Sekehe Truna Setia Remaja Br. Pitik Pedungan Denpasar Selatan, Sabtu, 19 Februari 2022 lalu.

Dalam proses latihan selama 2 bulan ST Widya Bhakti dikritik tajam oleh seniman Bli Ciaaattt yang juga seniman asal Pegok Sesetan. Salah satu kritiknya adalah "Sebagai warga Pegok, kita mesti menampilkan originalitas, menampilkan yg berbeda dari biasanya. Kalau bisa jangan meniru yang sudah ada. Harus berani kreatif mencipta yang baru. Tidak itu-itu saja. Ayo berupayalah mengeksplorasi lokal genius yang kita punya. Lakukan pelatihan instrumen cengceng atau reong sesering mungkin. Manfaatkan media digital dengan rekaman hp sendiri, kemudian evaluasi berkala. Ini penting untuk meningkatkan kecermatan dan skill masing-masing penabuh."



Kritik positif dari Bli Ciaaattt ini diterima dengan lapang dada dan mereka berupaya memperbaiki diri tanpa emosi. Inilah yang dinamakan generasi milinial yang memiliki wawasan terdepan. Tidak mudah tersinggung, ketika diberi saran maupun kritikan konstruktif untuk perbaikan. 

Walaupun demikian, bukan hanya kritik yang membuat mereka menjadi lebih baik tetapi Baleganjur ini brilian membawakan konsep warisan Janger Pegok dalam komposisi gendingnya. Ini sangat menyatu kuat diantara penabuh, karena sesungguhnya mereka adalah penari kecak dalam Janger Pegok yang dipentaskan dalam odalan purnama kapat di Pura Kesuma Sari Pegok.

Sementara itu, I Putu Wahyu Surta sebagai konseptor sekaligus ketua ST Widya Bhakti menyatakan bahwa kita berkarya mengacu kepada pola-pola kekinian tanpa terlepas dari jejer pageh struktural baleganjur tradisi serta mengajak penonton merasakan langsung bagaimana jiwa kepahlawanan ST Widya Bhakti berperang melawan ego dan jaman untuk melestarikan warisan leluhur seni janger Pegok. Kalau bukan kita, siapa lagi ?
"Tuunin ego sareng sami yening sayuakti pastika praside tradisine nenten punah" , ujar Wahyu bersemangat. 

Komposisi gending yang berjudul Widya Bhakti ini diciptakan oleh I Made Sudiantara sebagai pemuda asli Pegok. Made Sudiantara mengkemas vokal janger dalam baleganjur yang nyentrik mencuatkan keunikan tersendiri. Respon penonton bergema dengan hiruk pikuk tepuk tangan mengagetkan secara spontan. Kemudian para penonton pun mulai berbisik-bisik dengan menyatakan "mih, ne bise juara ne !" Mirib juara 1 ne. 

Sebagai koreografer atau penata gerak dari ST Widya Bhakti adalah duet bapak dan anak yaitu I Made Widiartha dan Kadek Denta Dwinandita. Gerak serentak yang membawa kekompakan. Keren !





Lomba Baleganjur ini diikuti oleh 6 peserta diantaranya Sekehe Truna dari masing - masing banjar yaitu Br. Menesa Pedungan, Br. Gladag Pedungan, Br. Kaja Sesetan, Br Gaduh Sesetan, Br. Lantang Bejuh Sesetan, dan Pegok Sesetan. Sebagai juara pertama adalah Menesa, kedua Pegok dan ketiga Lantang Bejuh. Selamat kepada para juara.

Kita turut berbangga bahwa kesanggupan sekehe truna mengikuti lomba ditengah masa pandemi ini sangat membangkitkan daya kreatif mereka. Dampak ini mesti terus digaungkan walaupun mengikuti protkes yang ketat asalkan disiplin mengikuti anjuran pemerintah. Setidaknya ditengah sulitnya berkumpul dan susutnya semangat, berkat adanya lomba ini mereka menjadi terpacu bangkit untuk kembali bergeliat dengan kreatifitas baru.

Dalam kesempatan lomba tersebut Bli Ciaaattt juga mengamati beberapa peserta lainnya. Tekhnik ( gegebug) yang mesti harus tetap ditingkatkan, kebersamaan, pembaruan olah gerak dan vokal, dan penampilan istimewa yang barangkali bisa spektakuler. Namun, ada yang masih belum ditunjukan yaitu ada unsur "baleganjur komedi" yang menghibur dan mengocok perut publik tetapi dengan skil yang tinggi. Ini hanyalah harapan dan masukan. Sebagian besar penampilan peserta lomba ini "serius-serius banget bikin tegang" Barangkali ada yang akan berkreasi dimasa mendatang dengan hal yang menggelitik. kita tunggu saja. Ciaaattt !