Kota
Hamburg mesra di malam hari, ramah di siang hari
Semenjak
kehadiran wifi dan smartphone segalanya serba mudah dan praktis. Era online
merambah segala lini kehidupan, mempermudah kita memperoleh informasi update.
Berbeda dengan 20 tahun yang lalu, ketika saya masih muda belia di kota
Brussel. Berkomunikasi via telepon rumah
dengan keluarga dan sang pacar di Bali, harus bayar mahal hanya untuk 5 menit
saja. Jeleknya lagi, kita tidak bisa melihat
wajah secara live. Sekarang praktis, menggunakan facebook messenger, webcam, whatapps kita bisa melihat dan mendengar secara jernih
dan lebih murah.
Pukul
5 sore di Bandara Brussels international
airport, saya sedang menunggu pesawat menuju kota Hamburg Jerman. Menunggu
tidak lagi membosankan, karena informasi update di media sosial beragam. Saya
membaca, mengintip status teman yang sedang ceria, kecewa, selfie hingga
menyaksikan tips-tips segar resep memasak di youtube. Akhir-akhir ini, saya
sangat konsen dengan memasak. Mencoba berbagai resep, khususnya sayur-sayuran.
Harap maklum ya pembaca, hidup di perantuan membutuhkan olahan kreatifitas disegala bidang, termasuk
kreatifitas dalam memasak.
Singkat
cerita, dalam hitungan 1 jam dari kota Brussel, saya telah tiba di kota
Hamburg. Kota ‘’mesra di malam hari, ramah di siang hari. Saya menyebut ‘’mesra’’
karena banyaknya muda-mudi bermesraan di tepi danau Alster, memadu kasih dalam
riak suasana malam syahdu. Danau Alster disebelah mana ya ? alamatnya
di Jungfernstieg,
20534 Hamburg, bisa menggunakan public transport : S1, S2, S3 and U1, U2, Station 'Jungfernstieg'.
Kemudian,
saya menyebut ‘’ramah’’ karena terkesan dengan warga setempat. Kejadiannya
disaat saya kesasar menuju museum Etnologi Museum für Völkerkunde Hamburg. Telepon saya low bat, saya
memohon dicarikan taksi kepada warga Jerman yang kebetulan berada di sekitar
saya. Satu keluarga membantu dengan ramah, menunggu dan menelpon hingga sopir
taksi datang. Saya bersyukur ternyata
banyak sekali orang orang baik berada disekeliling kita, atau barangkali ini merupakan
kebetulan saja. Walaupun demikian kesan
positif yang terjadi pada saya ini, sedikit tidaknya akan terkenang dihati selama-lamanya.
Undangan
berkesenian di Pasar Hamburg
Kedatangan saya ke Hamburg sebagai
pemain suling Bali, atas undangan dari Juli Wirahmini Biesterfeld sang ketua penyelenggara
Pasar Hamburg. Pasar Hamburg adalah ajang festival Indonesia terbesar di negara
berbahasa Jerman yang diadakan setiap tahun di museum Etnologi Museum für
Völkerkunde Hamburg. Tahun ini merupakan edisi yang keempat kalinya, yang
diselenggarakan selama dua hari
dari tanggal 10 hingga 11
September 2016. Beragam acara ditampilkan seperti pertunjukan tari, musik,
diskusi, film, workshop, pameran foto, bedah buku dan pasar kuliner Indonesia.
Para
artis didatangkan khusus dari Indonesia seperti grup band Marginal Jakarta dan Topeng Bondres Lawak Rare Kual Bali.
Sedangkan yang dari Eropa diantaranya Ina Dance Belanda, Yonatan Pandelaki Band
Jerman, grup Tari IMAN Jerman, Duo Violissimo Jerman, The Toffi Jerman, Trio
Fridaus Jerman, dan saya sendiri si pemain suling Bali dari Belgia.
Pukul
sembilan pagi di hari pertama Pasar Hamburg, kesibukan sudah kentara diberbagai
sudut ruangan museum. Para panitia yang sebagian besar pelajar dan diaspora
Indonesia ini, terlihat bekerjasama bahu membahu. Sebagai penampil seni atau
artis, kita ditempatkan dalam sebuah ruangan yang bersih dan nyaman yang berada
persis didekat panggung utama pertunjukan.
Apapun yang kita tanyakan kepada panitia, jawaban mereka jelas dan siap
membantu para penampil seni tersebut. Para panitia disini membawa pesona
kekeluargaan dan melayani artis secara profesional. Program yang tertulis
secara jelas, dengan durasi waktu yang telah ditentukan membuat para penampil
seni menyiapkan diri sebaik mungkin. Kemudian peralatan soundsystem dan para
tekhnisi yang berpengalaman membuat pasar Hamburg ini semakin profesional. Namun
satu hal yang perlu dikritisi adalah pasar Hamburg terlalu pendek waktunya.
Kalau bisa diperpanjang menjadi 3 atau 4 hari agar bisa menjangkau publik lebih
luas.
Didalam
ruangan artis, saya hanya tersenyum manis, melihat godaan demi godaan grup
lawak bondres Rare Kual Buleleng Bali terhadap penari cantik Ina dance dari Belanda. Keakraban mereka
membuat suasana bertambah menyenangkan. Suara kocak rare kual, dengan penuh
tawa membuat saya terpingkal. Gaya, ekpresi lucu, gerak-gerik polos dan guyonan
mereka sangat khas tanpa dibuat-buat. Rare Kual yang terdiri 4 pemuda Bali
ini merupakan grup topeng bondres terkenal
yang sudah melanglang buana di Bali bahkan ke berbagai negara eropa.
Tanpa
saya sadari, salah satu dari tim Rare Kual menghampiri saya sambil berbisik
dengan serak-serak basah dalam bahasa bali khas buleleng yang kental :
‘’ Bli made, jegeg jegeg gati penari Ina dance uli Belande ne !, tawang
keto jeg plaibang polone ! (artinya : Bli Made, cantik cantik sekali para
penari dari Ina dance, saya mau larikan mereka ) Sayapun
menjawab dengan nyengir sambil berkedip : ‘’Eh,
kanguwang mai mepotrek gen paekan, apang maan ngelut, jeg nyak seger bayune,
kiiik ! (artinya : eh, sini kita berfoto kesini saja sambil peluk dikit,
supaya semangatmu segar bugar, kiiik )
Mendengar saran saya itu, mereka (Rare Kual) berkedip cinta bling bling
bling pertanda ‘’tidak sabar’’ untuk segera berpelukan. He he he.
Pameran Foto Suara Pesisir
Nampaknya para seniman-seniman ini tidak diragukan lagi sepak terjang
berkesenian mereka. Lihatlah penampilan grup band Marjinal yang sangat
jantan menyuarakan perlawanan kuat terhadap suatu ketidakadilan yang berkembang
ditengah masyarakat. Marjinal melantunkan Lagu tolak reklamasi teluk benoa terdengar bergemuruh diruangan museum,
dinyanyikan bersama sama oleh para penonton. Kemudian Rare Kual beraksi dengan interaktif
gerak komedi lucu yang berwajah bondres Bali, mampu menyemarakan festival ini
hingga penonton terpingkal pingkal.
Selangkah
kemudian, saya juga sempat memanfaatkan waktu untuk melihat Pameran Foto yang
digelar di lantai 1 gedung museum . Pameran foto ini menyajikan image cerita tentang pesisir laut
nusantara dan wajah pesisir sebagai tempat tinggal nenek moyang kita sebagai
bangsa pelaut. Pameran ini rupanya bertajuk Suara Pesisir yang menjadi ajang
penggugah dalam pasar Hamburg tahun 2016 ini. Karya foto yang dipamerkan adalah buah karya sepuluh pewarta foto Divisi
Pemberitaan Foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA atau ANTARA Foto.
Kesepuluh
pewarta foto yang karya mereka dipamerkan pada ajang ini adalah Andreas Fitri
Atmoko, Iggoy el Fitra, I Nyoman Budhiana, Ismar Patrizki, Muhammad Adimaja,
Mochammad Risyal Hidayat, Rosa Panggabean, Sigid Kurniawan, Wahyu Putro A, Moch
Risyal Hidayat, dan Zabur Karuru. Dari kesepuluh pewarta foto itu, disajikan 13
foto cerita seri tentang pesona keindahan alam, berbagai prosesi budaya
masyarakat yang menawan, dan sejumlah problematika mengenai pesisir yang tengah
menghangat di Indonesia.
Yuk, Mencintai
keragaman nusantara
Kalau bukan karena cinta Indonesia,
tidaklah mungkin Pasar Hamburg ini berjalan dengan lancar dan sukses. Waktu yang tersita, biaya yang dikeluarkan,
hingga tenaga terkuras habis bukanlah menjadi halangan bagi tim penyelenggara
Pasar Hamburg ini. Pengerjaan dilakukan secara swadaya oleh diaspora Indonesia,
pelajar, masyarakat Indonesia dan masyarakat Jerman sepantasnya diberi
apresiasi yang tinggi. Bersinergi membangun Indonesia, menginformasikan berita
aktual dan mengkritisi dampak negatif yang terjadi ditengah masyarakat, menampilkan
keahlian para seniman Indonesia hingga mempromosikan cita rasa makanan
Indonesia di Pasar Hamburg ini.
Alangkah
bahagianya kalau kita melihat kebersamaan warga masyarakat Indonesia yang
berbeda suku, agama dan golongan menyatu membangun Indonesia melalui Pasar
Hamburg ini. Alangkah cerianya nenek
moyang para pelaut nusantara ketika mereka
melihat kepedulian kita terhadap pesisir laut nusantara walaupun dalam bentuk
pameran foto. Alangkah terhiburnya warga Jerman atau para pengunjung atas
berbagai atraksi seni budaya nusantara. Alangkah sayangnya kalau kita tidak
mencintai keragaman budaya kita sendiri bahkan tidak perduli sama sekali.
Nah,
para pembaca kompas travel, sebagai penabuh suling Bali yang telah tiga kali hadir
di Pasar Hamburg ini, melihat dengan mata kepala sendiri bahwa warga Jerman dan
warga Eropa lainnya sangat tinggi menghargai budaya Indonesia. Mereka serius
mendengarkan, serius menyaksikan, serius memainkan gamelan, serius menari,
serius mempelajari hingga cintanya lebih daripada kita mencintai budaya kita
sendiri. Apakah dirimu rela budaya nusantara
akan menjadi milik warga asing ? Tidak Bukan.
(Penulis : made agus wardana
tinggal di Belgia)