Minggu, 03 Juli 2016

The Batle of Waterloo 1815 di Belgia




            Menyaksikan  film dokumenter tentang Pertempuran Waterloo di youtube, membuat hati saya  terenyuh emosional. Bayangkan suara pedang ‘’tang teng tang teng ‘’ saling tusuk,  tubrukan seribu derap kaki kuda pasukan kavaleri, hentak langkah pasukan infanteri, gemuruh dentuman meriam yang memporak-porandakan kerumunan pasukan. Hancur ! Muncrat ! Darah dimana-mana sangat menyeramkan. Drama peperangan tersebut seakan nyata dalam realitas yang terjadi, sungguh mengerikan.

            Perang terjadi karena pihak-pihak bertikai memiliki kepentingan masing-masing.  Kepentingan akan ambisi kekuasaan, ideologi, perebutan wilayah, sumber daya alam serta motif perubahan sistem kekuasaan.  Tapi benarkah, perang juga membawa sebuah ‘’perubahan baik’’ ? Barangkali bisa dibenarkan.  Misalnya perubahan berupa hak-hak pribadi dan kepemilikan warga sipil yang setara dan memiliki kedudukan yang sama dalam segala hal. Warga sipil tidak terbelenggu lagi dengan tekanan kaum bangsawan monarki yang berstatus sosial lebih tinggi. Mereka berhak membela hak-haknya  sebagai warga masyarakat dan negara.

            Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu ‘’perubahan baik’’ akibat  dari peperangan seperti tersebut diatas adalah peristiwa  The Batlle of WaterlooThe Batlle of Waterloo yang terjadi hari Minggu, tanggal 18 Juni 1815 adalah perang maha dashyat antara pasukan Napoleon Bonaparte dan pasukan koalisi pimpinan Duke of Wellington. Pasukan koalisi terdiri-dari gabungan pasukan Inggris, Prusia, Belanda, Hannover, Nassau, dan Brunswick. Pasukan koalisi Inggris - Belanda berjumlah 68.000 orang, Pasukan  Prusia berjumlah 50.000 orang, sedangkan  pasukan Napoleon berjumlah 73.000 orang.  Peristiwa bersejarah  ini  menyebabkan perubahan fantastis di Eropa bahkan di dunia. Ingin tahu cerita dan dimana kejadiannya ? Yuk, ikuti saya !



            Sore itu menjelang musim dingin bulan nopember di Belgia,  angin dingin berhembus kencang menyapa pipi yang kedinginan.  Mendung hitam bergumpal, menghalau sang surya menyinari area pertanian di kawasan Braine-l'Alleud.  Angin kencang berhembus membuyarkan pandangan, menerbangkan dedaunan kering disekitarnya. Tampak jelas, pohon kentang yang tertanam di daerah tersebut bergoyang massal mengikuti irama hembusan angin kekiri dan kekanan. Ditempat ini menjulang monumen  Butte du Lion(Bukit Singa ) yang didirikan setelah berakhirnya pertempuran Waterloo. Sebuah monumen peringatan  para korban, khususnya Pangeran William II dari Belanda yang terluka ketika pertempuran berlangsung disana. Gundukan Bukit Singa atau Butte du Lion (baca : But du liong) dengan ketinggian 41 meter tampak hijau ditumbuhi rerumputan dalam kemiringan. Dipuncaknya  berdiri patung  Singa dari besi sedang menginjak bola dunia.

            Tapi saya merasa heran dengan nama  Waterloo. Kenapa kota Waterloo yang menjadi terkenal, bukannya Braine-l'Alleud ? Padahal sangat jelas bahwa pertempuran Waterloo itu sesungguhnya terjadi di wilayah Braine-l'Alleud. Braine-l'Alleud adalah distrik yang bertetangga dengan kota Waterloo yang merupakan kawasan ladang pertanian. Menurut berbagai sumber, pemimpin pasukan koalisi Duke of Wellington menggunakan istilah Battle of Waterloo untuk pertama kalinya. Alasannya karena kota Waterloo adalah posisi pertahanan strategis Wellington. Di kota itu pula dia mengatur siasat dan strategi bertahan untuk membendung pasukan Napoleon yang berencana memasuki kota Brussel. Strategi ini cukup berhasil sehingga pasukan Napoleon berhenti di kawasan Braine-l'Alleud tersebut. 


           
Pasukan Napoleon yang kesohor itu, kalah  ?

            Sebenarnya sih tidak kalah, jika tidak terjadi penundaan penyerangan akibat hujan lebat di hari sebelumnya tgl 17 Juni.  Hujan lebat membuat medan pertempuran basah kuyup dan becek berlumpur. Pergerakan pasukan berkuda mengalami kesulitan, bahkan meriam sebagai senjata ampuh sangat sulit dan berat untuk dijalankan. Keesokan harinya,  Napoleon memutuskan menunda pertempuran dan menunggu sampai jam 11 lewat agar tanah lebih kering dan mengeras.  Penundaan waktu inilah yang mempercepat kedatangan bala bantuan  50. 000 pasukan Prusia pimpinan Gebhard Leberecht Von Blücher yang datang dari kota Wavre, 8 km dari arena pertempuran.
 osi, problem psikologis, nyawa s, nyawa erasan menghancurkan kedamaian hidup kita saja           

Napoleon Banaparte

            Siapa yang tidak kenal dengan Napoleon Bonaparte, tokoh besar dalam sejarah Eropa. Lahir pada tahun 1769, meninggal tahun 1821. Berwatak keras, ambisius, karismatik dan anti monarki. Sewaktu Revolusi Perancis tercetus, dia berusia 20 tahun. Pemikiran dan idenya sangat jelas terpengaruh oleh situasi dan kondisi dimana rakyat Perancis menginginkan perubahan sistem kekuasaan dari kerajaan menjadi republik. Dengan intrik, strategi dan pengaruhnya  Napoleon berhasil mengangkat dirinya menjadi seorang kaisar dan bertempur selama 17 tahun di berbagai negara Eropa hingga ke Turki dan Mesir.

            Kebenciannnya terhadap sistem monarki,  membuat para raja-raja di Eropa merasa terancam dan cemas.  Kecemasan raja-raja di Eropa bertambah lagi dengan penyebaran Ide demokrasi liberal dari seorang Napoleon.  Nah, saat itulah para raja-raja di Eropa bersatu membentuk koalisi melawan Napoleon Bonaparte.



Janganlah ada perang lagi !

            Sesungguhnya perang adalah konflik. Konflik yang menyusahkan banyak orang. Korban berjatuhan, munculnya kemiskinan, kehidupan damai jauh dari harapan. Kebencian, kekerasan sambung menyambung menjadi satu. Sejarah kelam membuat kita sadar, bahwa perang ternyata menyusahkan kehidupan kita. Namun demikian, Perang juga membawa ‘’Perubahan Baik’’ tergantung dari perspektif mana kita mengamatinya.

            Bagi rakyat Perancis aksi Napoleon dianggap sebagai sebuah aksi heroik yang membela hak-hak sipil warganya. Mengedepankan demokrasi dan mempercepat hilangnya feodalisme setelah tercetusnya Revolusi Perancis pada tahun 1789.  Munculnya istilah Kode Napoleon yang berisi tata kehidupan sipil, yang juga digunakan dalam kehidupan kita sekarang ini.

            Kemudian dari perspektif  pasukan koalisi (Raja-raja di Eropa) secara jelas bahwa karena adanya ancaman terhadap sistem monarki dan perluasan wilayah menyebabkan pasukan koalisi bergabung menyerang Pasukan Napoleon.  Keberhasilan mengalahkan pasukan Napoleon menuai pujian khususnya bagi Duke Of Wellington dalam mengalahkan ambisi napoleon yang haus kekuasaan.

            Bagi saya sendiri, Pertempuran Waterloo sudah berlalu, walaupun begitu bekas trauma masih terdampar. Trauma diderita oleh para pelaku yang menjadi korban pertempuran tersebut. Ladang persawahan medan pertempuran waterloo sepertinya tidak mau sejarah kelam terulang kembali. Darah sudah terlalu banyak terisap oleh tanah pertanian tersebut. Pemandangan kawasan pertempuran Waterloo yang mendung, seakan membukakan hati kita. Sudahlah, jangan ada pertempuran lagi antara sesama manusia. Sekalipun pertempuran itu melahirkan ‘’perubahan baik’’ bagi warga sipil, tetapi tetap saja peperangan tersebut membawa dampak yang buruk. Belajarlah dari sejarah, jangan ada korban jiwa, sudah semestinya perang tidak ada lagi di muka bumi ini.